Makna Isra' dan Mi'raj
Perjalanan Nabi Muhammad saw. dari Makkah ke Bayt
Al-Maqdis, kemudian naik ke Sidrat Al-Muntaha, bahkan melampauinya, serta
kembalinya ke Makkah dalam waktu sangat singkat, merupakan tantangan terbesar
sesudah Al-Quran disodorkan oleh Tuhan kepada umat manusia. Peristiwa ini
membuktikan bahwa 'ilm dan qudrat Tuhan meliputi dan menjangkau, bahkan
mengatasi, segala yang finite (terbatas) dan infinite (tak terbatas) tanpa
terbatas waktu atau ruang.
Kaum empirisis dan rasionalis, yang melepaskan
diri dari bimbingan wahyu, dapat saja menggugat: Bagaimana mungkin kecepatan,
yang bahkan melebihi kecepatan cahaya, kecepatan yang merupakan batas kecepatan
tertinggi dalam continuum empat dimensi ini, dapat terjadi? Bagaimana mungkin
lingkungan material yang dilalui oleh Muhammad saw. tidak mengakibatkan
gesekan-gesekan panas yang merusak tubuh beliau sendiri? Bagaimana mungkin
beliau dapat melepaskan diri dari daya tarik bumi? Ini tidak mungkin terjadi,
karena ia tidak sesuai dengan hukum-hukum alam, tidak dapat dijangkau oleh
pancaindera, bahkan tidak dapat dibuktikan oleh patokan-patokan logika.
Demikian kira-kira kilah mereka yang menolak peristiwa ini.
Memang, pendekatan yang paling tepat untuk
memahaminya adalah pendekatan imaniy. Inilah yang ditempuh oleh Abu Bakar
AlShiddiq, seperti tergambar dalam ucapannya: "Apabila Muhammad yang
memberitakannya, pasti benarlah adanya." Oleh sebab itu, uraian ini
berusaha untuk memahami peristiwa tersebut melalui apa yang kita percayai kebenarannya
berdasarkan bukti-bukti ilmiah yang dikemukakan oleh Al-Quran.
Salah satu hal yang menjadi pusat pembahasan
Al-Quran adalah masa depan ruhani manusia demi mewujudkan keutuhannya. Uraian
Al-Quran tentang Isra' dan Mi'raj merupakan salah satu cara pembuatan skema
ruhani tersebut. Hal ini terbukti jelas melalui pengamatan terhadap sistematika
dan kandungan Al-Quran, baik dalam bagian-bagiannya yang terbesar maupun dalam
ayat-ayatnya yang terinci.
Tujuh bagian pertama Al-Quran membahas
pertumbuhan jiwa manusia sebagai pribadi-pribadi yang secara kolektif membentuk
umat.
Dalam bagian kedelapan sampai keempat belas,
Al-Quran menekankan pembangunan manusia seutuhnya serta pembangunan masyarakat
dan konsolidasinya. Tema bagian kelima belas mencapai klimaksnya dan tergambar
pada pribadi yang telah mencapai tingkat tertinggi dari manusia seutuhnya,
yakni al-insan al-kamil. Dan karena itu, peristiwa Isra' dan Mi'raj merupakan
awal bagian ini, dan berkelanjutan hingga bagian kedua puluh satu, di mana
kisah para rasul diuraikan dari sisi pandangan tersebut. Kemudian, masalah
perkembangan ruhani manusia secara orang per orang diuraikan lebih lanjut
sampai bagian ketiga puluh, dengan penjelasan tentang hubungan perkembangan
tersebut dengan kehidupan masyarakat secara timbal-balik.
Kemudian, kalau kita melihat cakupan lebih kecil,
maka ilmuwan-ilmuwan Al-Quran, sebagaimana ilmuwan-ilmuwan pelbagai disiplin
ilmu, menyatakan bahwa segala sesuatu memiliki pendahuluan yang mengantar atau
menyebabkannya. Imam Al-Suyuthi berpendapat bahwa pengantar satu uraian dalam
Al-Quran adalah uraian yang terdapat dalam surat sebelumnya.204
Sedangkan inti uraian satu surat dipahami dari nama surat tersebut, seperti
dikatakan oleh Al-Biqai'i.205
Dengan demikian, maka pengantar uraian peristiwa Isra' adalah surat yang
dinamai Tuhan dengan sebutan Al-Nahl, yang berarti lebah.
Mengapa lebah? Karena makhluk ini memiliki banyak
keajaiban. Keajaibannya itu bukan hanya terlihat pada jenisnya, yang jantan dan
betina, tetapi juga jenis yang bukan jantan dan bukan betina. Keajaibannya juga
tidak hanya terlihat pada sarang-sarangnya yang tersusun dalam bentuk
lubang-lubang yang sama bersegi enam dan diselubungi oleh selaput yang sangat
halus menghalangi udara atau bakteri menyusup ke dalamnya, juga tidak hanya
terletak pada khasiat madu yang dihasilkannya, yang menjadi makanan dan obat
bagi sekian banyak penyakit. Keajaiban lebah mencakup itu semua, dan mencakup
pula sistem kehidupannya yang penuh disiplin dan dedikasi di bawah pimpinan
seekor "ratu". Lebah yang berstatus ratu ini pun memiliki keajaiban
dan keistimewaan. Misalnya, bahwa sang ratu ini, karena rasa "malu"
yang dimiliki dan dipeliharanya, telah menjadikannya enggan untuk mengadakan
hubungan seksual dengan salah satu anggota masyarakatnya yang jumlahnya dapat
mencapai sekitar tiga puluh ribu ekor. Di samping itu, keajaiban lebah juga
tampak pada bentuk bahasa dan cara mereka berkomunikasi, yang dalam hal ini
telah dipelajari secara mendalam oleh seorang ilmuwan Austria, Karl Van Fritch.
Lebah dipilih Tuhan untuk menggambarkan keajaiban
ciptaan-Nya agar menjadi pengantar keajaiban perbuatan-Nya dalam peristiwa
Isra' dan Mi'raj. Lebah juga dipilih sebagai pengantar bagi bagian yang
menjelaskan manusia seutuhnya. Karena manusia seutuhnya, manusia mukmin,
menurut Rasul, adalah "bagaikan lebah, tidak makan kecuali yang baik dan
indah, seperti kembang yang semerbak; tidak menghasilkan sesuatu kecuali yang
baik dan berguna, seperti madu yang dihasilkan lebah itu."
Dalam cakupan yang lebih kecil lagi, kita
melontarkan pandangan kepada ayat pertama surat pengantar tersebut. Di sini
Allah berfirman: Telah datang ketetapan Allah (Hari Kiamat). Oleh sebab itu
janganlah kamu meminta agar disegerakan datangnya.
Dunia belum kiamat, mengapa Allah mengatakan
kiamat telah datang? Al-Quran menyatakan "telah datang ketetapan
Allah," mengapa dinyatakan-Nya juga "jangan meminta agar disegerakan
datangnya"? Ini untuk memberi isyarat sekaligus pengantar bahwa Tuhan
tidak mengenal waktu untuk mewujudkan sesuatu. Hari ini, esok, juga kemarin,
adalah perhitungan manusia, perhitungan makhluk. Tuhan sama sekali tidak
terikat kepadanya, sebab adalah Dia yang menguasai masa. Karenanya Dia tidak
membutuhkan batasan untuk mewujudkan sesuatu. Dan hal ini ditegaskan-Nya dalam
surat pengantar ini dengan kalimat: Maka perkataan Kami kepada sesuatu, apabila
Kami menghendakinya, Kami hanya menyatakan kepadanya "kun" (jadilah),
maka jadilah ia (QS 16:40).
Di sini terdapat dua hal yang perlu
digarisbawahi. Pertama, kenyataan ilmiah menunjukkan bahwa setiap sistem gerak
mempunyai perhitungan waktu yang berbeda dengan sistem gerak yang lain. Benda
padat membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan suara. Suara pun
membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan dengan cahaya. Hal ini mengantarkan
para ilmuwan, filosof, dan agamawan untuk berkesimpulan bahwa, pada akhirnya,
ada sesuatu yang tidak membutuhkan waktu untuk mencapai sasaran apa pun yang
dikehendaki-Nya. Sesuatu itulah yang kita namakan Allah SWT, Tuhan Yang
Mahaesa.
Kedua, segala sesuatu, menurut ilmuwan, juga
menurut Al-Quran, mempunyai sebab-sebab. Tetapi, apakah sebab-sebab tersebut
yang mewujudkan sesuatu itu? Menurut ilmuwan, tidak. Demikian juga menurut
Al-Quran. Apa yang diketahui oleh ilmuwan secara pasti hanyalah sebab yang
mendahului atau berbarengan dengan terjadinya sesuatu. Bila dinyatakan bahwa
sebab itulah yang mewujudkan dan menciptakan sesuatu, muncul sederet keberatan
ilmiah dan filosofis.
Bahwa sebab mendahului sesuatu, itu benar. Namun
kedahuluan ini tidaklah dapat dijadikan dasar bahwa ialah yang mewujudkannya.
"Cahaya yang terlihat sebelum terdengar suatu dentuman meriam bukanlah
penyebab suara tersebut dan bukan pula penyebab telontarnya peluru," kata
David Hume. "Ayam yang selalu berkokok sebelum terbit fajar bukanlah
penyebab terbitnya fajar," kata Al-Ghazali jauh sebelum David Hume lahir.
"Bergeraknya sesuatu dari A ke B, kemudian dari B ke C, dan dari C ke D,
tidaklah dapat dijadikan dasar untuk menyatakan bahwa pergerakannya dari B ke C
adalah akibat pergerakannya dari A ke B," demikian kata Isaac Newton, sang
penemu gaya gravitasi.
Kalau demikian, apa yang dinamakan hukum-hukum
alam tiada lain kecuali "a summary o f statistical averages"
(ikhtisar dari rerata statistik). Sehingga, sebagaimana dinyatakan oleh Pierce,
ahli ilmu alam, apa yang kita namakan "kebetulan" dewasa ini, adalah
mungkin merupakan suatu proses terjadinya suatu kebiasaan atau hukum alam.
Bahkan Einstein, lebih tegas lagi, menyatakan bahwa semua apa yang terjadi
diwujudkan oleh "superior reasoning power" (kekuatan nalar yang
superior). Atau, menurut bahasa Al-Quran, "Al-'Aziz Al-'Alim", Allah
Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui. Inilah yang ditegaskan oleh Tuhan dalam
surat pengantar peristiwa Isra' dan Mi'raj itu dengan firman-Nya: Kepada Allah
saja tunduk segala apa yang di langit dan di bumi, termasuk binatang-binatang
melata, juga malaikat, sedangkan mereka tidak menyombongkan diri. Mereka takut
kepada Tuhan mereka yang berkuasa atas mereka dan mereka melaksanakan apa yang
diperintahkan (kepada mereka) (QS 16:49-50).
Pengantar berikutnya yang Tuhan berikan adalah:
Janganlah meminta untuk tergesa-gesa. Sayangnya, manusia bertabiat
tergesa-gesa, seperti ditegaskan Tuhan ketika menceritakan peristiwa Isra' ini,
Adalah manusia bertabiat tergesa-gesa (QS 17:11). Ketergesa-gesaan inilah yang
antara lain menjadikannya tidak dapat membedakan antara: (a) yang mustahil
menurut akal dengan yang mustahil menurut kebiasaan, (b) yang bertentangan
dengan akal dengan yang tidak atau belum dimengerti oleh akal, dan (c) yang
rasional dan irasional dengan yang suprarasional.
Dari segi lain, dalam kumpulan ayat-ayat yang
mengantarkan uraian Al-Quran tentang peristiwa Isra' dan Mi'raj ini, dalam
surat Isra' sendiri, berulang kali ditegaskan tentang keterbatasan pengetahuan
manusia serta sikap yang harus diambilnya menyangkut keterbatasan tersebut.
Simaklah ayat-ayat berikut: Dia (Allah) menciptakan apa-apa (makhluk) yang kamu
tidak mengetahuinya (QS 16:8); Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui (QS 16:74); dan Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan kecuali sedikit
(QS 17:85); dan banyak lagi lainnya. Itulah sebabnya, ditegaskan oleh Allah
dengan firman-Nya: Dan janganlah kamu mengambil satu sikap (baik berupa ucapan
maupun tindakan) yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentang hal tersebut;
karena sesungguhnya pendengaran, mata, dan hati, kesemuanya itu kelak akan
dimintai pertanggungjawaban (QS 17:36).
Apa yang ditegaskan oleh Al-Quran tentang
keterbatasan pengetahuan manusia ini diakui oleh para ilmuwan pada abad ke-20.
Schwart, seorang pakar matematika kenamaan Prancis, menyatakan: "Fisika
abad ke-19 berbangga diri dengan kemampuannya menghakimi segenap problem
kehidupan, bahkan sampai kepada sajak pun. Sedangkan fisika abad ke-20 ini
yakin benar bahwa ia tidak sepenuhnya tahu segalanya, walaupun yang disebut
materi sekalipun." Sementara itu, teori Black Holes menyatakan bahwa
"pengetahuan manusia tentang alam hanyalah mencapai 3% saja, sedang 97%
selebihnya di luar kemampuan manusia."
Kalau demikian, seandainya, sekali lagi
seandainya, pengetahuan seseorang belum atau tidak sampai pada pemahaman secara
ilmiah atas peristiwa Isra' dan Mi'raj ini; kalau betul demikian adanya dan
sampai saat ini masih juga demikian, maka tentunya usaha atau tuntutan untuk
membuktikannya secara "ilmiah" menjadi tidak ilmiah lagi. Ini tampak
semakin jelas jika diingat bahwa asas filosofis dari ilmu pengetahuan adalah
trial and error, yakni observasi dan eksperimentasi terhadap fenomena-fenomena
alam yang berlaku di setiap tempat dan waktu, oleh siapa saja. Padahal,
peristiwa Isra' dan Mi'raj hanya terjadi sekali saja. Artinya, terhadapnya
tidak dapat dicoba, diamati dan dilakukan eksperimentasi.
Itulah sebabnya mengapa Kierkegaard, tokoh
eksistensialisme, menyatakan: "Seseorang harus percaya bukan karena ia
tahu, tetapi karena ia tidak tahu." Dan itu pula sebabnya, mengapa
Immanuel Kant berkata: "Saya terpaksa menghentikan penyelidikan ilmiah
demi menyediakan waktu bagi hatiku untuk percaya." Dan itu pulalah
sebabnya mengapa "oleh-oleh" yang dibawa Rasul dari perjalanan Isra'
dan Mi'raj ini adalah kewajiban shalat; sebab shalat merupakan sarana
terpenting guna menyucikan jiwa dan memelihara ruhani.
Kita percaya kepada Isra' dan Mi'raj, karena
tiada perbedaan antara peristiwa yang terjadi sekali dan peristiwa yang terjadi
berulang kali selama semua itu diciptakan serta berada di bawah kekuasaan dan
pengaturan Tuhan Yang Mahaesa.
Sebelum Al-Quran mengakhiri pengantarnya tentang
peristiwa ini, dan sebelum diungkapnya peristiwa ini, digambarkannya bagaimana
kelak orang-orang yang tidak mempercayainya dan bagaimana pula sikap yang harus
diambilnya. Allah berfirman: Bersabarlah wahai Muhammad; tiadalah kesabaranmu
melainkan dengan pertolongan Allah. Janganlah kamu bersedih hati terhadap
(keingkaran) mereka. Jangan pula kamu bersempit dada terhadap apa-apa yang mereka
tipudayakan. Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang orang yang
berbuat kebajikan. (QS 16:127-128). Inilah pengantar Al-Quran yang disampaikan
sebelum diceritakannya peristiwa Isra' dan Mi'raj.
Agaknya, yang lebih wajar untuk dipertanyakan
bukannya bagaimana Isra' dan Mi 'raj terjadi, tetapi mengapa Isra' dan Mi 'raj.
Seperti yang telah dikemukakan pada awal uraian,
Al-Quran, pada bagian kedelapan sampai bagian kelima belas, menguraikan dan
menekankan pentingnya pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan masyarakat
beserta konsolidasinya. Ini mencapai klimaksnya pada bagian kelima belas atau
surat ketujuh belas, yang tergambar pada pribadi hamba Allah yang di-isra'-kan
ini, yaitu Muhammad saw., serta nilai-nilai yang diterapkannya dalam masyarakat
beliau. Karena itu, dalam kelompok ayat yang menceritakan peristiwa ini (dalam
surat Al-Isra'), ditemukan sekian banyak petunjuk untuk membina diri dan
membangun masyarakat.
Pertama, ditemukan petunjuk untuk
melaksanakan shalat lima waktu (pada ayat 78). Dan shalat ini pulalah yang
merupakan inti dari peristiwa Isra' dan Mi'raj ini, karena shalat pada
hakikatnya merupakan kebutuhan mutlak untuk mewujudkan manusia seutuhnya,
kebutuhan akal pikiran dan jiwa manusia, sebagaimana ia merupakan kebutuhan
untuk mewujudkan masyarakat yang diharapkan oleh manusia seutuhnya. Shalat
dibutuhkan oleh pikiran dan akal manusia, karena ia merupakan pengejawantahan
dari hubungannya dengan Tuhan, hubungan yang menggambarkan pengetahuannya
tentang tata kerja alam raya ini, yang berjalan di bawah satu kesatuan sistem.
Shalat juga menggambarkan tata inteligensia semesta yang total, yang sepenuhnya
diawasi dan dikendalikan oleh suatu kekuatan Yang Mahadahsyat dan Maha
Mengetahui, Tuhan Yang Mahaesa. Dan bila demikian, maka tidaklah keliru bila
dikatakan bahwa semakin mendalam pengetahuan seseorang tentang tata kerja alam
raya ini, akan semakin tekun dan khusyuk pula ia melaksanakan shalatnya.
Shalat juga merupakan kebutuhan jiwa. Karena,
tidak seorang pun dalam perjalanan hidupnya yang tidak pernah mengharap atau
merasa cemas. Hingga, pada akhirnya, sadar atau tidak, ia menyampaikan harapan
dan keluhannya kepada Dia Yang Mahakuasa. Dan tentunya merupakan tanda
kebejatan akhlak dan kerendahan moral, apabila seseorang datang menghadapkan
dirinya kepada Tuhan hanya pada saat dirinya didesak oleh kebutuhannya.
Shalat juga dibutuhkan oleh masyarakat manusia,
karena shalat, dalam pengertiannya yang luas, merupakan dasar-dasar
pembangunan. Orang Romawi Kuno mencapai puncak keahlian dalam bidang
arsitektur, yang hingga kini tetap mengagumkan para ahli, juga karena adanya
dorongan tersebut. Karena itu, Alexis Carrel menyatakan: "Apabila
pengabdian, shalat, dan doa yang tulus kepada Sang Maha Pencipta disingkirkan
dari tengah kehidupan bermasyarakat, maka hal itu berarti kita telah
menandatangani kontrak bagi kehancuran masyarakat tersebut." Dan, untuk
diingat, Alexis Carrel bukanlah seorang yang memiliki latar belakang pendidikan
agama. Ia adalah seorang dokter yang telah dua kali menerima hadiah Nobel atas
hasil penelitiannya terhadap jantung burung gereja serta pencangkokannya. Dan,
menurut Larouse Dictionary, Alexis Carrel dinyatakan sebagai satu pribadi yang
pemikiran-pemikirannya secara mendasar akan berpengaruh pada penghujung abad XX
ini.
Apa yang dinyatakan ilmuwan ini sejalan dengan
penegasan Al-Quran yang ditemukan dalam pengantar uraiannya tentang peristiwa
Isra' dalam surat Al-Nahl ayat 26. Di situ digambarkan pembangkangan satu
kelompok masyarakat terhadap petunjuk Tuhan dan nasib mereka menurut ayat
tersebut: Allah menghancurkan bangunan-bangunan mereka dari fondasinya, lalu
atap bangunan itu menimpa mereka dari atas; dan datanglah siksaan kepada mereka
dari arah yang mereka tidak duga (QS 16:26).
Kedua, petunjuk-petunjuk lain yang
ditemukan dalam rangkaian ayat-ayat yang menjelaskan peristiwa Isra' dan
Mi'raj, dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat adil dan
makmur, antara lain adalah: Jika kami hendak membinasakan suatu negeri, maka
Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya
mereka menaati Allah untuk hidup dalam kesederhanaan), tetapi mereka durhaka;
maka sudah sepantasnyalah berlaku terhadap mereka ketetapan Kami dan Kami
hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya (QS 17:16).
Ditekankan dalam surat ini bahwa
"Sesungguhnya orang yang hidup berlebihan adalah saudara-saudara
setan" (QS 17:27).
Dan karenanya, hendaklah setiap orang hidup dalam
kesederhanaan dan keseimbangan: Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu
(pada lehermu dan sebaliknya), jangan pula kamu terlalu mengulurkannya, agar
kamu tidak menjadi tercela dan menyesal (QS 17:29).
Bahkan, kesederhanaan yang dituntut bukan hanya
dalam bidang ekonomi saja, tetapi juga dalam bidang ibadah. Kesederhanaan dalam
ibadah shalat misalnya, tidak hanya tergambar dari adanya pengurangan jumlah
shalat dari lima puluh menjadi lima kali sehari, tetapi juga tergambar dalam
petunjuk yang ditemukan di surat Al-Isra' ini juga, yakni yang berkenaan dengan
suara ketika dilaksanakan shalat: Janganlah engkau mengeraskan suaramu dalam
shalatmu dan jangan pula merendahkannya, tetapi carilah jalan tengah di antara
keduanya (QS 17: 110).
Jalan tengah di antara keduanya ini berguna untuk
dapat mencapai konsentrasi, pemahaman bacaan dan kekhusyukan. Di saat yang
sama, shalat yang dilaksanakan dengan "jalan tengah" itu tidak
mengakibatkan gangguan atau mengundang gangguan, baik gangguan tersebut kepada
saudara sesama Muslim atau non-Muslim, yang mungkin sedang belajar, berzikir,
atau mungkin sedang sakit, ataupun bayi-bayi yang sedang tidur nyenyak. Mengapa
demikian? Karena, dalam kandungan ayat yang menceritakan peristiwa ini, Tuhan
menekankan pentingnya persatuan masyarakat seluruhnya. Dengan demikian,
masing-masing orang dapat melaksanakan tugas sebaik-baiknya, sesuai dengan
kemampuan dan bidangnya, tanpa mempersoalkan agama, keyakinan, dan keimanan
orang lain. Ini sesuai dengan firman Allah:
Katakanlah wahai Muhammad,
"Hendaklah tiap-tiap orang berkarya menurut bidang dan kemampuannya masing-masing."
Tuhan lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya (QS 17:84).
Akhirnya, sebelum uraian ini disudahi, ada
baiknya dibacakan ayat terakhir dalam surat yang menceritakan peristiwa Isra'
dan Mi'raj ini: Katakanlah wahai Muhammad: "Percayalah kamu atau tidak
usah percaya (keduanya sama bagi Tuhan)." Tetapi sesungguhnya mereka yang
diberi pengetahuan sebelumnya, apabila disampaikan kepada mereka, maka mereka
menyungkur atas muka mereka, sambil bersujud (QS 17: 107).
Itulah sebagian kecil dari petunjuk dan kesan
yang dapat kami pahami, masing-masing dari surat pengantar uraian peristiwa
Isra ; yakni surat Al-Nahl, dan surat Al-Isra' sendiri. Khusus dalam pemahaman
tentang peristiwa Isra' dan Mi'raj ini, semoga kita mampu menangkap gejala dan
menyuarakan keyakinan tentang adanya ruh intelektualitas Yang Mahaagung, Tuhan
Yang Mahaesa di alam semesta ini, serta mampu merumuskan kebutuhan umat manusia
untuk memujaNya sekaligus mengabdi kepada-Nya.
Catatan kaki
204
Lihat bukunya, Asrar Tartib Al-Qur'an.
205
Lihat dalam pengantar untuk bukunya, Nazhm Al-Durar fi Tanasub Al-Ayat wa
Al-Suwar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar