Karakteristik Konselor dalam Konseling Lintas Budaya
Karakteristik Konselor dalam Konseling Lintas Budaya
A. Konseling Lintas Budaya
Di pandang dari perspektif lintas budaya, situasi konseling adalah sebuah ‘perjumpaan kultural’ (cultural encounter) antara konselor dengan klien atau a cultural solution to personal problem solving. Dalam
proses konseling terjadi proses belajar, tranferensi dan
kounter-transferensi, dan saling menilai. Pada keduanya, juga terjadi
saling menarik inferensi. Dari segi konselor, ketepatan inferensi yang
kemudian mendasari tindakannya dalam konseling tergantung pada kemampuan
pemahaman secara utuh terhadap klien. Dari segi klien, ketepatan
inferensi merujuk pada pola-pola perilaku yang dimiliki sebelumnya.
Masalah akan timbul manakala ada inkongruensi antara persepsi dan
nilai-nilai yang menjadi referensi kedua belah pihak, dan sumber
terjadinya distorsi yang sangat besar adalah ketidakpekaan konselor
terhadap latar belakang budaya klien.
Kajian
ini akan menjembantani permasalahan tersebut dengan memperhatikan aspek
budaya dalam praktik konseling, yang pada gilirannya akan melahirkan
teknik-teknik dan pendekatan konseling yang berwawasan lintas budaya (cross cultural counseling).
Dalam
mendefinisikan konseling lintas budaya, kita tidak akan dapat lepas
dari istilah konseling dan budaya. Dalam pengertian konseling terdapat
empat elemen pokok yaitu:
1. Adanya hubungan,
2. Adanya dua individu atau lebih,
3. Adanya proses,
4. Membantu individu dalam memecahkan masalah dan membuat keputusan.
Sedangkan dalam pengertian budaya, ada tiga elemen yaitu:
1. Merupakan produk budidaya manusia,
2. Menentukan ciri seseorang,
3. Manusia tidak akan bisa dipisahkan dari budayanya.
Sehingga konseling lintas budaya (cross-culture counseling)
mempunyai arti suatu hubungan konseling yang terdiri dari dua peserta
atau lebih, berbeda dalam latar belakang budaya, nilai-nilai dan gaya
hidup (Sue et al dalam Suzette et all 1991; Atkinson, dalam Herr, 1939).
Dari pengertian diatas maka konseling lintas budaya terjadi antara
konselor dan klien mempunyai perbedaan dan perbedaan itu bisa mengenai
nilai-nilai, keyakinan, perilaku dan sebagainya. Sehingga dalam
konseling lintas budaya ini konselor mesti :
1. Memahami nilai-nilai pribadi serta asumsinya tentang perilaku manusia dan mengenali bahwa tiap manusia berbeda
2. Sadar bahwa tidak ada yang netral secara politik dan moral
3. Dapat berbagi pandangan tentang dunia klien dan tidak tertutup
Berdasarkan
pengertian tentang konseling lintas budaya di atas, aspek-aspek yang
harus ada dan diperhatikan dalam konseling lintas budaya adalah sebagai
berikut:
1. Latar belakang budaya yang dimiliki oleh konselor
2. Latar belakang budaya yang dimiliki oleh klien
3. Asumsi-asumsi terhadap masalah yang dihadapi selama konseling
4. Nilai-nilai yang mempengaruhi hubungan dalam konseling
B. Karakteristik Konselor yang Efektif dalam Pelaksanaan Konseling Lintas Budaya
1. Konselor lintas Budaya sadar terhadapnilai-nilai pribadi yang dimiliki dan asumsi-asumsi
terbaru tentang prilaku manusia
Konselor
sadar bahwa dia memiliki nilai-nilai sendiri yang dijunjung tinggi dan
akan terus dipertahankan. Disisi lain, konselor juga menyadari bahwa
klien memiliki nilai-nilai dan norma yang berbeda dengan dirinya. Oleh
karena itu, konselor harus bisa menerima nilai-nilai yang berbeda itu
sekaligus mempelajarinya.
2. Konselor lintas budaya sadar terhadap karakteristik konseling secara umum
Konselor memiliki pemahaman yang cukup mengenai konseling secara umum sehingga akan membantunya dalam
melaksanakan konseling, sebaiknya sadar terhadap pengertian dan kaidah
dalam melaksanakan konseling. Hal ini sangat perlu karena pengertian
terhdap kaidah konseling akan membantu konselor dalam memecahkan masalah
yang dihadapi oleh klien.
3. Konselor lintas budaya harus mengetahui pengaruh kesukuan dan mereka mempunyai
perhatian terhadap lingkungannya
Konselor
dalam melaksanakan tugasnya harus tanggap terhadap perbedaan yang
berpotensi untuk menghambat proses konseling. Terutama yang berkaitan
dengan nilai, norma dan keyakinan yang dimiliki oleh suku agama
tertentu. Terelebih apabila konselor melakukan praktik konseling di
Indonesia yang mempunyai lebih dari 357 etnis dan 5 agama besar serta
penganut aliran kepercayaan.
Untuk
mencegah timbulnya hambatan tersebut, maka konselor harus mau belajar
dan memperhatikan lingkungan di mana dia melakukan praktik, baik agama
maupun budayanya. Dengan mengadakan perhatian atau observasi, diharapkan
konselor dapat mencegah terjadinya rintangan selama proses konseling.
4. Konselor lintas budaya tidak boleh mendorong klien untuk dapat memahami budaya dan nilai
nilai yang dimiliki konselor
Untuk
hal ini ada aturan main yang harus ditaati oleh setiap konselor.
Konselor mempunyai kode etik konseling, yang secara tegas menyatakan
bahwa konselor tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada klien. Hal ini
mengimplikasikan bahwa sekecil apapun kemauan konselor tidak boleh
dipaksakan kepada klien. Klien tidak boleh diintervensi oleh konselor tanpa persetujuan klien.
5. Konselor lintas agama dan budaya dalam melaksanakan konseling harus mempergunakan
pendekatan ekletik.
Pendekatan ekletik adalah suatu
pendekatan dalam konseling yang mencoba untuk menggabungkan beberapa
pendekatan dalam konseling untuk membantu memecahkan masalah klien.
Penggabungan ini dilakukan untuk membantu klien yang mempunyai
perbedaan gaya dan pandangan hidup. Untuk itu konselor harus memiliki
wawasan keilmuan yang luas.
C. Dasar-Dasar Utama Kualitas Pribadi Seorang konselor
1. Congruence
Konselor harus genuine, integrated, dan whole person dimana
ia berusaha menjadi dirinya yang utuh dalam setiap setting sosial
artinya pada saat ia menjadi konselor ia akan mampu memanfaatkan bagian
dari dirinya yang relevan dengan peranannya sebagai konselor.
2. Empati
Kemampuan
konselor untuk merasakan apa yang klien rasakan bahkan konselor mampu
membayangkan seandainya ia yang berada pada posisi klien mengakibatkan
terciptanya hubungan sosioemosinal yang dalam dan itu membuat klien
dapat bercerita dengan sukarela dan terbuka mengenai dirinya bahkan yang
menjadi rahasinya.
3. Unconditional positive regard
Menerima
keadaan klien secara utuh tanpa memberikan penilaian apapun terhadap
keberadaan dan prilaku klien. Konselor berusaha berpikir positif
memahami dunia klien apa adanya tanpa adanya kritikkan yang akan membuat
klien membangun mekanisme pertahanan diri yang kuat, sehingga
menciptakan rasa aman yang membuat klien bisa memahami masalahnya secara
utuh.
Refrensi
Prayitno. 1987. Profesionalisasi Konseling dan Pendidikan Konselor. Jakarta: Depdikbud.
Syamsu Yusuf, 2005. Landasan Bimbingan dan Konseling, Bandung: Rosdakarya
Singgih Gunarsa, 2007. Konseling dan Psikoterapi, Jakarta: Gunung Mulia.
Yusuf, Yusmar. Psikologi Antar Budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Boy Soedarmadji, Konseling lintas Budaya, www.boy_soedarmadji.wordPress.com, diakses 12 Februari 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar