Kalyak umum mungkin asih
menyisakan beberapa pertanyaan tentan al qur’an. Di antaranya
Apa yang musti di baca oleh nabi saat mendapat wahyu
pertama?kenapa allah meminta nabi yang ummi untuk membaca?tulisan kami ini
mencoba menjelaskan tentag apa yang musti di aca oleh nabi saat mmendapat
wahyu pertama.
Ulama’ sepakat bahwa wahyu yang pertama turun adalah surat
al laq ayat satu sampe lima
اقْرَأْ بِاسْم
رَبِّكَ
الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3) الَّذِي
عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ
يَعْلَمْ (5)
1.Bacalah,
wahai Muhammad, apa yang telah diwahyukan kepadamu dengan mengawalinya dengan
menyebut nama Tuhanmu yang memiliki kemampuan untuk mencipta.
2. Yang telah menciptakan manusia, yang memiliki tubuh dan ilmu yang sempurna, dari segumpal darah yang tidak memperlihatkan sesuatu yang dapat dibanggakan. 3. Teruskanlah membaca, Tuhanmu Yang Maha Pemurah akan memuliakanmu dan tidak menghinakanmu. 4. Yang telah mengajarkan manusia menulis dengan perantaraan pena, padahal sebelumnya ia belum mengetahuinya. 5. Yang mengajarkan manusia sesuatu yang tidak terdetik dalam hatinya. Mengapa iqra, merupakan perintah pertama yang ditujukan kepada Nabi, padahal beliau seorang ummi (yang tidak pandai membaca dan menulis)? Mengapa demikian?
Iqra'
terambil dari akar kata yang berarti "menghimpun," sehingga tidak
selalu harus diartikan "membaca teks tertulis dengan aksara
tertentu."
Dari
"menghimpun" lahir aneka ragam makna, seperti menyampaikan,
menelaah, mendalami, meneliti mengetahui ciri sesuatu dan membaca, baik teks
tertulis maupun tidak.
Iqra'
(Bacalah)! Tetapi apa yang harus dibaca? "Ma aqra'?" tanya Nabi
-dalam suatu riwayat nabi bertanya seperti itu pada jibril - setelah beliau kepayahan
dirangkul dan diperintah membaca oleh malaikat Jibril a.s.
Pertanyaan
itu tidak dijawab, karena Allah menghendaki agar beliau dan umatnya membaca
apa saja, selama bacaan tersebut Bismi Rabbik; dalam arti bermanfaat untuk
kemanusiaan.
Iqra'
berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu, bacalah
alam, bacalah tanda-tanda zaman, sejarah, diri sendiri, yang tertulis dan
tidak tertulis.
Alhasil
objek perintah iqra' mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkaunya.
Pengulangan
perintah membaca dalam wahyu pertama ini, bukan sekadar menunjukkan bahwa
kecakapan membaca tidak diperoleh kecuali mengulang-ulangi bacaan, atau
membaca hendaknya dilakukan sampai mencapai batas maksimal kemampuan, tetapi
juga untuk mengisyaratkan bahwa mengulang-ulangi bacaan Bismi Rabbika (demi
karena Allah) akan menghasilkan pengetahuan dan wawasan baru walaupun yang
dibaca itu-itu juga.
Mengulang-ulang
membaca ayat Al-Quran menimbulkan penafsiran baru, pengembangan gagasan, dan
menambah kesucian jiwa serta kesejahteraan batin. Berulang-ulang
"membaca" alam raya, membuka tabir rahasianya dan memperluas
wawasan serta menambah kesejahteraan lahir. Ayat Al-Quran yang kita baca
dewasa ini tak sedikit pun berbeda dengan ayat Al-Quran yang dibaca Rasul dan
generasi terdahulu. Alam raya pun demikian, namun pemahaman, penemuan
rahasianya, serta limpahan kesejahteraan-Nya terus berkembang, dan itulah
pesan yang dikandung dalam Iqra' wa Rabbukal akram (Bacalah dan Tuhanmulah
yang paling Pemurah). Atas kemurahan-Nyalah kesejahteraan demi kesejahteraan
tercapai.
Sungguh,
perintah membaca merupakan sesuatu yang paling berharga yang pernah dan dapat
diberikan kepada umat manusia. "Membaca" dalam aneka maknanya
adalah syarat pertama dan utama pengembangan ilmu dan teknologi, serta syarat
utama membangun peradaban. Semua peradaban yang berhasil bertahan lama,
justru dimulai dari satu kitab (bacaan). Peradaban Yunani di mulai dengan
Iliad karya Homer pada abad ke-9 sebelum Masehi. Ia berakhir dengan hadirnya
Kitab Perjanjian Baru. Peradaban Eropa dimulai dengan karya Newton
(1641-1727) dan berakhir dengan filsafat Hegel (1770-1831).
Peradaban
Islam lahir dengan kehadiran Al-Quran. Astaghfirullah menunjuk masa akhirnya,
karena kita yakin bahwa ia tidak akan lekang oleh panas dan tidak lapuk oleh
hujan, selama umatnya ikut bersama Allah memeliharanya
"Sesungguhnya
Kami (Allah bersama Jibril yang diperintahNya) menurunkan Al-Quran, dan Kami
(yakni Allah dengan keterlibatan manusia) yang memeliharanya" (QS
Al-Hijr [15]: 9).
Pengetahuan
dan peradaban yang dirancang oleh Al-Quran adalah pengetahuan terpadu yang
melibatkan akal dan kalbu dalam perolehannya. Wahyu pertama Al-Quran
menjelaskan dua cara perolehan dan pengembangan ilmu. Berikut keterangannya.
Setiap
pengetahuan memiliki subjek dan objek. Secara umum subjek dituntut berperan
guna memahami objek. Namun pengalaman ilmiah menunjukkan bahwa objek
terkadang memperkenalkan dirinya kepada subjek tanpa usaha sang subjek.
Komet
Halley, memasuki cakrawala, hanya sejenak setiap 76 tahun. Dalam kasus ini,
walaupun para astronom menyiapkan diri dan alat-alatnya untuk mengamati dan
mengenalnya, tetapi sesungguhnya yang lebih berperan adalah kehadiran komet
itu sendiri untuk memperkenalkan diri.
Wahyu,
ilham, intuisi, atau firasat yang diperoleh manusia yang siap dan suci
jiwanya atau apa yang diduga sebagai "kebetulan" yang dialami oleh
ilmuwan yang tekun, kesemuanya tidak lain kecuali bentuk-bentuk pengajaran
Allah yang dapat dianalogikan dengan kasus komet di atas. Itulah pengajaran
tanpa qalam yang ditegaskan wahyu pertama ini.
"Allah
mengajar dengan pena (apa yang telah diketahui manusia sebelumnya), dan
mengajar manusia (tanpa pena) apa yang belum ia ketahui" (QS Al-'Alaq
[96]: 4-5)
Sekali
lagi terlihat betapa Al-Quran sejak dini memadukan usaha dan pertolongan
Allah, akal dan kalbu, pikir dan zikir, iman dan ilmu. Akal tanpa kalbu
menjadikan manusia seperti robot, pikir tanpa zikir menjadikan manusia
seperti setan. Iman tanpa ilmu sama dengan pelita di tangan bayi, sedangkan
ilmu tanpa iman bagaikan pelita di tangan pencuri.
Al-Quran
sebagai kitab terpadu, menghadapi, dan memperlakukan peserta didiknya dengan
memperhatikan keseluruhan unsur manusiawi, jiwa, akal, dan jasmaninya.
Ketika
Musa a.s. menerima wahyu Ilahi, yang menjadikan beliau tenggelam dalam
situasi spiritual, Allah menyentaknya dengan pertanyaan yang berkaitan dengan
kondisi material :
"Apakah
itu yang di tangan kananmu, hai Musa?" (QS Thaha [20]: 17).
Musa
sadar sambil menjawab,
"Ini
adalah tongkatku, aku bertelekan padanya dan memukul (daun) dengannya untuk
kambingku, disamping keperluan-keperluan lain" (QS Thaha [20]: 18).
Di
sisi lain, agar peserta didiknya tidak larut dalam alam material, Al-Quran
menggunakan benda-benda alam, sebagai tali penghubung untuk mengingatkan
manusia akan kehadiran Allah Swt. dan bahwa segala sesuatu yang teriadi
–sekecil apa pun- adalah di bawah kekuasaan, pengetahuan, dan pengaturan
Tuhan Yang Mahakuasa.
"Tidak
sehelai daun pun yang gugur kecuali Dia mengetahuinya, dan tidak jatuh
sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, tidak juga sesuatu yang basah atau
kering kecuali tertulis dalam Kitab yang nyata (dalam jangkauan
pengetahuannya)" (QS Al-An'am [6]: 59).
"Bukan
kamu yang melempar ketika kau melempar, tetapi Allah-lah (yang
menganugerahkan kemampuan sehingga) kamu mampu melempar" (QS Al-Anfal
[8]: 17).
Sungguh,
ayat-ayat Al-Quran merupakan serat yang membentuk tenunan kehidupan Muslim,
serta benang yang menjadi rajutan jiwanya. Karena itu seringkali pada saat
Al-Quran berbicara tentang satu persoalan menyangkut satu dimensi atau aspek
tertentu, tiba-tiba ayat lain muncul berbicara tentang aspek atau dimensi
lain yang secara sepintas terkesan tidak saling berkaitan. Tetapi bagi orang
yang tekun mempelajarinya akan menemukan keserasian hubungan yang amat
mengagumkan, sama dengan keserasian hubungan yang memadukan gejolak dan
bisikan-bisikan hati manusia, sehingga pada akhirnya dimensi atau aspek yang
tadinya terkesan kacau, menjadi terangkai dan terpadu indah, bagai kalung
mutiara yang tidak diketahui di mana ujung pangkalnya.
Salah
satu tujuan Al-Quran memilih sistematika demikian, adalah untuk mengingatkan
manusia -khususnya kaum Muslimin- bahwa ajaran-ajaran Al-Quran adalah satu
kesatuan terpadu yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
Keharaman
makanan tertentu seperti babi, ancaman terhadap yang enggan menyebarluaskan
pengetahuan, anjuran bersedekah, kewajiban menegakkan hukum, wasiat sebelum
mati, kewajiban puasa, hubungan suami-istri, dikemukakan Al-Quran secara
berurut dalam belasan ayat surat Al-Baqarah. Mengapa demikian? Mengapa
terkesan acak? Jawabannya antara lain adalah, "Al-Quran menghendaki agar
umatnya melaksanakan ajarannya secara terpadu." Tidakkah babi lebih
dianjurkan untuk dihindari daripada keengganan menyebarluaskan ilmu
Bersedekah tidak pula lebih penting daripada menegakkan hukum dan keadilan.
Wasiat sebelum mati dan menunaikannya tidak kalah dari berpuasa di bulan
Ramadhan. Puasa dan ibadah lainnya tidak boleh menjadikan seseorang lupa pada
kebutuhan jasmaniahnya, walaupun itu adalah hubungan seks antara suami-istri.
Demikian terlihat keterpaduan ajaran-ajarannya.
Al-Quran
menempuh berbagai cara guna mengantar manusia kepada kesempurnaan
kemanusiaannya antara lain dengan mengemukakan kisah faktual atau simbolik.
Kitab Suci Al-Quran tidak segan mengisahkan "kelemahan manusiawi,"
namun itu digambarkannya dengan kalimat indah lagi sopan tanpa mengundang
tepuk tangan, atau membangkitkan potensi negatif, tetapi untuk
menggarisbawahi akibat buruk kelemahan itu, atau menggambarkan saat kesadaran
manusia menghadapi godaan nafsu dan setan.
Ketika
Qarun yang kaya raya memamerkan kekayaannya dan merasa bahwa kekayaannya itu
adalah hasil pengetahuan dan jerih payahnya, dan setelah enggan berkali-kali
mendengar nasihat, terjadilah bencana longsor sehingga seperti bunyi firman
Allah:
"Maka
Kami benamkan dia dan hartanya ke dalam bumi" (QS Al-Qashash [28]: 81).
Dan
berkatalah orang-orang yang kemarin mendambakan kedudukan Qarun,
"Aduhai, benarlah Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki
dari hamba-hamba-Nya dan mempersempitkannya. Kalau Allah tidak melimpahkan
karuniaNya atas kita, niscaya kita pun dibenamkannya. Aduhai benarlah tidak
beruntung orang-orang yang kikir (QS Al-Qashash [28]: 82).
Dalam
konteks menggambarkan kelemahan manusia, Al-Quran, bahkan mengemukakan
situasi, langkah konkret dan kalimat-kalimat rayuan seorang wanita bersuami
yang dimabuk cinta oleh kegagahan seorang pemuda yang tinggal di rumahnya,
Maksudnya,
"(Setelah
berulang-ulang kali merayu dengan berbagai cara terselubung). Ditutupnya
semua pintu dengan amat rapat, seraya berkata (sambil menyerahkan dirinya
kepada kekasihnya-setelah berdandan), "Ayolah kemari lakukan itu!"
(QS Yusuf [12]: 23).
Demikian,
tetapi itu sama sekali berbeda dengan ulah sementara seniman, yang memancing
nafsu dan merangsang berahi. Al-Quran menggambarkannya sebagai satu kenyataan
dalam diri manusia yang tidak harus ditutup-tutupi tetapi tidak juga dibuka
lebar, selebar apa yang sering dipertontonkan, di layar lebar atau kaca.
Al-Quran
kemudian menguraikan sikap dan jawaban Nabi Yusuf, anak muda yang dirayu
wanita itu, juga dengan tiga alasan penolakan, seimbang dengan tiga cara
rayuannya, Yang pertama dan kedua adalah,
"Aku
berlindung kepada Allah, sesungguhnya suamimu adalah tuanku, yang
memperlakukan aku dengan baik" (QS Yusuf [12]: 23).
Yang
ketiga, khawatir kedua alasan itu belum cukup.
"Dan
sesungguhnya tidak pernah dapat berbahagia orang yang berlaku aniaya"
(QS Yusuf [12]: 23).
Dalam
bidang pendidikan, Al-Quran menuntut bersatunya kata dengan sikap. Karena
itu, keteladanan para pendidik dan tokoh masyarakat merupakan salah satu
andalannya.
Pada
saat Al-Quran mewajibkan anak menghormati orangtuanya, pada saat itu pula ia
mewajibkan orang-tua mendidik anak-anaknya. Pada saat masyarakat diwajibkan
menaati Rasul dan para pemimpin, pada saat yang sama Rasul dan para pemimpin
diperintahkan menunaikan amanah, menyayangi yang dipimpin sambil
bermusyawarah dengan mereka.
Demikian
Al-Quran menuntut keterpaduan orang-tua, masyarakat, dan pemerintah. Tidak
mungkin keberhasilan dapat tercapai tanpa keterpaduan itu. Tidak mungkin kita
berhasil kalau beban pendidikan hanya dipikul oleh satu pihak, atau hanya
ditangani oleh guru dan dosen tertentu, tanpa melibatkan seluruh unsur
kependidikan.
Dua
puluh dua tahun dua bulan dan dua puluh dua hari lamanya, ayat-ayat Al-Quran
silih berganti turun, dan selama itu pula Nabi Muhammad Saw. dan para
sahabatnya tekun mengajarkan Al-Quran, dan membimbing umatnya. Sehingga, pada
akhirnya, mereka berhasil membangun masyarakat yang didalamnya terpadu ilmu
dan iman, nur dan hidayah, keadilan dan kemakmuran di bawah lindungan ridha
dan ampunan Ilahi.
Kita
dapat bertanya mengapa 20 tahun lebih, baru selesai dan berhasil? Boleh jadi
jawabannya dapat kita simak dari hasil penelitian seorang guru besar Harvard
University, yang dilakukannya pada 40 negara, untuk mengetahui faktor
kemajuan atau kemunduran negara-negara itu.
Salah
satu faktor utamanya -menurut sang Guru Besar- adalah materi bacaan dan
sajian yang disuguhkan khususnya kepada generasi muda. Ditemukannya bahwa dua
puluh tahun menjelang kemajuan atau kemunduran negara-negara yang ditelitinya
itu, para generasi muda dibekali dengan sajian dan bacaan tertentu. Setelah
dua puluh tahun generasi muda itu berperan dalam berbagai aktivitas, peranan
yang pada hakikatnya diarahkan oleh kandungan bacaan dan sajian yang disuguhkan
itu. Demikian dampak bacaan, terlihat setelah berlalu dua puluh tahun, sama
dengan lama turunnya Al-Quran.
Kalau
demikian, jangan menunggu dampak bacaan terhadap anak-anak kita kecuali 20
tahun kemudian. Siapa pun boleh optimis atau pesimis, tergantung dari
penilaian tentang bacaan dan sajian itu. Namun kalau melihat kegairahan
anak-anak dan remaja membaca Al-Quran, serta kegairahan umat mempelajari
kandungannya, maka kita wajar optimis, karena kita sepenuhnya yakin bahwa
keberhasilan Rasul dan generasi terdahulu dalam membangun peradaban Islam
yang jaya selama sekitar delapan ratus tahun, adalah karena Al-Quran yang
mereka baca dan hayati mendorong pengembangan ilmu dan teknologi, serta
kecerahan pikiran dan kesucian hati.
Kita
wajar optimis, melihat kesungguhan pemerintah menangani pendidikan, serta
tekadnya mencanangkan wajib belajar.
Ayat
"wa tawashauw bil haq" dalam QS Al-'Ashr [103]: 3 bukan saja
mencanangkan "wajib belajar" tetapi juga "wajib
mengajar." Bukankah tawashauw berarti saling berpesan, saling mengajar,
sedang al-haq atau kebenaran adalah hasil pencarian ilmu? Mencari kebaikan
menghasilkan akhlak, mencari keindahan menghasilkan seni, dan mencari
kebenaran menghasilkan ilmu. Ketiga unsur itulah yang menghasilkan sekaligus
mewarnai suatu peradaban.
Al-Quran
yang sering kita peringati nuzulnya ini bertujuan antara lain:
1. Untuk membersihkan akal dan menyucikan jiwa dari segala
bentuk syirik serta memantapkan keyakinan tentang keesaan yang sempurna bagi
Tuhan seru sekalian alam, keyakinan yang tidak semata-mata sebagai suatu
konsep teologis, tetapi falsafah hidup dan kehidupan umat manusia.
2. Untuk mengajarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, yakni
bahwa umat manusia merupakan suatu umat yang seharusnya dapat bekerja sama
dalam pengabdian kepada Allah dan pelaksanaan tugas kekhalifahan.
3. Untuk menciptakan persatuan dan kesatuan, bukan saja antar
suku atau bangsa, tetapi kesatuan alam semesta, kesatuan kehidupan dunia dan
akhirat, natural dan supranatural, kesatuan ilmu, iman, dan rasio, kesatuan
kebenaran, kesatuan kepribadian manusia, kesatuan kemerdekaan dan
determinisme, kesatuan sosial, politik dan ekonomi, dan kesemuanya berada di
bawah satu keesaan, yaitu Keesaan Allah Swt.
4. Untuk mengajak manusia berpikir dan bekerja sama dalam
bidang kehidupan bermasyarakat dan bernegara melalui musyawarah dan mufakat
yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan.
5. Untuk membasmi kemiskinan material dan spiritual,
kebodohan, penyakit, dan penderitaan hidup, serta pemerasan manusia atas
manusia, dalam bidang sosial, ekonomi, politik, dan juga agama.
6. Untuk memadukan kebenaran dan keadilan dengan rahmat dan
kasih sayang, dengan menjadikan keadilan sosial sebagai landasan pokok
kehidupan masyarakat manusia
7. Untuk memberi jalan tengah antara falsafah monopoli
kapitalisme dengan falsafah kolektif komunisme, menciptakan ummatan wasathan
yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran.
8.Untuk menekankan peranan ilmu dan teknologi, guna
menciptakan satu peradaban yang sejalan dengan jati diri manusia, dengan
panduan dan paduan Nur Ilahi.
Demikian
sebagian tujuan kehadiran Al-Quran, tujuan yang tepadu dan menyeluruh, bukan
sekadar mewajibkan pendekatan religius yang bersifat ritual atau mistik, yang
dapat menimbulkan formalitas dan kegersangan.
Al-Quran
adalah petunjuk-Nya yang bila dipelajari akan membantu kita menemukan
nilai-nilai yang dapat dijadikan pedoman bagi penyelesaian berbagai problem
hidup. Apabila dihayati dan diamalkan akan menjadikan pikiran, rasa, dan
karsa kita mengarah kepada realitas keimanan yang dibutuhkan bagi stabilitas
dan ketenteraman hidup pribadi dan masyarakat.
Itulah
Al-Quran dengan gaya bahasanya yang merangsang akal dan menyentuh rasa, dapat
menggugah kita menerima dan memberi kasih dan keharuan cinta, sehingga dapat
mengarahkan kita untuk memberi sebagian dari apa yang kita miliki untuk
kepentingan dan kemaslahatan umat manusia. Itulah Al-Quran yang ajarannya
telah merupakan kekayaan spiritual bangsa kita, dan yang telah tumbuh subur
dalam negara kita. []
WAWASAN
AL-QURAN
Tafsir
Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr.
M. Quraish Shihab, M.A.
|
|
Minggu, 03 Juni 2012
Al-QUR'AN
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar