BAB I. Pendahuluan
I.a Latar Belakang
Masa remaja sebagai masa penuh kegoncangan, taraf
mencari identitas diri dan merupakan periode yang paling berat (Hurlock, 1993).
Calon (1953) dalam Monks (2002) mengatakan masa remaja menunjukkan dengan jelas
sifat-sifat masa transisi atau peralihan karena remaja belum memiliki status
dewasa tetapi tidak lagi memiliki status anak-anak, karena secara fisik mereka
sudah seperti orang dewasa. Perkembangan fisik dan psikis menimbulkan
kebingungan dikalangan remaja sehingga masa ini disebut oleh orang barat
sebagai periode sturm und drung dan akan membawah akibat yang tidak
sedikit terhadap sikap, perilaku, kesehatan, serta kepribadian remaja (Monsk,
2002). Lebih jelas pada tahun 1974, WHO memberiikan definisi tentang remaja
secara lebih konseptual, sebagai berikut (Sarwono, 2001) Remaja adalah suatu
masa dimana:
1.
Individu berkembang dari saat
pertama kali ia menunjukkan tandatanda seksual sekundernya sampai saat ia
mencapai kematangan seksual.
2.
Individu mengalami perkembangan
psikologik dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa.
3.
Terjadi peralihan dari
ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih
mandiri.
Dalam era kemajuan informasi dan teknologi, siswa
semakin tertekan dan terintimidasi oleh perkembangan dunia akan tetapi belum
tentu dimbangi dengan perkembangan karakter dan mental yang mantap. Seorang
Guru Bimbingan dan Konseling atau Konselor mempunyai tugas yaitu membantu siswa
untuk mengatasi permasalahan dan hambatan dan dalam perkembangan siswa.
Setiap siswa sebenarnya mempunyai masalah dan sangat
variatif. Permasalahan yang dihadapi siswa dapat bersifat pribadi, sosial,
belajar, atau karier. Oleh karena keterbatasan kematangan siswa dalam mengenali
dan memahami hambatan dan permasalahan yang dihadapi siswa, maka konselor
sebagai pihak yang berkompeten perlu memberikan intervensi. Apabila siswa tidak
mendapatkan intervensi, siswa mendapatkan permasalahan yang cukup berat untuk
dipecahkan. Konselor sekolah senantiasa diharapkan untuk mengetahui keadaan dan
kondisi siswanya secara mendalam.
William C. Kvaraceus dalam (Mulyono, 1995) membagi
bentuk kenakalan menjadi dua, yaitu:
- Kenakalan biasa seperti: Berbohong, membolos sekolah, meninggalkan rumah tanpa izin (kabur), keluyuran, memiliki dan membawa benda tajam, bergaul dengan teman yang memberi pengaruh buruk, berpesta pora, membaca buku-buku cabul, turut dalam pelacuran atau melacurkan diri, berpakaian tidak pantas dan minum minuman keras.
- Kenakalan Pelanggaran Hukum, seperti: berjudi, mencuri, mencopet, menjambret, merampas, penggelapan barang, penipuan dan pemalsuan, menjual gambar-gambar porno dan film-film porno, pemerkosaan, pemalsuan uang, perbuatan yang merugikan orang lain, pembunuhan dan pengguguran kandungan.
Untuk dapat
memahami peserta didik secara lebih mendalam, maka seorang pembimbing maupun
konselor perlu mengumpulkan berbagai keterangan atau data tentang peserta didik
yang meliputi berbagai aspek, seperti: aspek sosial kultural, perkembangan
individu, perbedaan individu, adaptasi, masalah belajar dan sebagainya. Dalam
rangka mencari informasi tentang sebab-sebab timbulnya masalah serta untuk
menentukan langkah-langkah penanganan masalah tersebut maka diperlukan adanya
suatu tehnik atau metode pengumpulan data atau fakta-fakta yang terkait dengan
permasalahan yang ada. Salah satu tehnik atau metode pengumpulan data atau
fakta adalah studi kasus.
Pada
praktiknya studi kasus diselenggarakan melalui cara-cara yang bervariasi,
seperti analisis laporan sesaat (anecdotal report), otobiografi
klien, deskripsi tentang tingkah laku, perkembangan klien dari waktu ke
waktu (case history), himpunan data (cummulative records),
konferensi kasus (case conference) seperti yang diungkapkan Jones,
1951; Mc Daniels, 1957; Tolbert, 1959; Bernard&Fulmer, 1969; Patterson,
1978; Fisher, 1978 (dalam Prayitno, 1999; 38).
I.b
Batasan Masalah
Melihat
dari ragam permasalahan yang timbul dan beragam tekhnik pemecahan masalah
seperti diuraikan diatas, maka penulis membatasi permasalahan dan penanganan
kasus terhadap peserta didik dengan metode studi kasus analisis laporan sesaat
dengan berdasarkan teori-teori Bimbingan Konseling yang ada.
I.c Rumusan
Masalah
Menangani kasus
peserta didik yang dihadapi merupakan inti pekerjaan konselor, bagaimana
seorang konselor dapat menangani sebuah kasus. Berkenaan dengan pentingnya
penanganan sebuah kasus, maka ada beberapa hal pokok yang dapat kami rumuskan, yaitu:
I.c.1 Bagaimana upaya pemahaman terhadap sebuah kasus?
I.c.2 Bagaimana langkah-langkah penanganannya?
I.c.3 Bagaimana upaya pemecahannya?
I.d Tujuan
Dilihat dari
rumusan masalah diatas, tujuan dari makalah ini adalah ;
I.d.1 Mendeskripsikan persoalan yang ada dengan
menemukan berbagai kasus yang terdapat di berbagai media maupun kesukarelaan
peserta didik dengan cara pencarian kasus.
I.d.2 Mendeskripsikan sebab akibat kasus peserta
didik dan penanganan kasus dengan menggunakan studi kasus laporan sesaat dengan
berbagai teori Bimbingan Konseling.
BAB II. Pembahasan
II.a Teori
Bimbingan Konseling
II.a.1
Konseling Trait & Factor (Wolter
Bingham, John Darley, Donald G. Paterson, dan E. G. Williemson)
Menurut teori ini, kepribadian merupakan suatu system sifat atau factor
yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya seperti kecakapan,minat,sikap,dan
tempramen. Proses konseling dibagi
dalam lima
tahap sebagai berikut :
1.
Tahap Analisis
Tahap kegiatan yang terdiri pengumpulan informasi dan data mengenai
klien.
2.
Tahap Sintesis
Langkah merangkum dan mengatur data dari hasil analisis yang sedemikian
rupa sehingga menunjukkan bakat, kekuatan, kelemahan dan kemampuan penyesuaian
diri klien.
3.
Tahap Diagnosis
Sebenarnya merupakan langkah pertama dalam bimbingan dan hendaknya dapat
menemukan ketetapan yang dapat mengarah kepada permasalahan, sebab-sebabnya,
sifat-sifat klien yang relevan dan berpengruh pada penyesuaian diri. Diagnosis
meliputi :
A.
Identifikasi masalah yang sifatnya
deskriptif misalnya dengan menggunakan kategori Bordin dan Pepinsky
Kategori diagnosis Bordin
a. dependence (ketergantungan)
b. lack of information (kurangnya informasi)
c. self conflict (konflik diri)
d. choice anxiety (kecemasan dalam membuat pilihan)
Kategori diagnosis Pepinsky
a. lack of assurance (kurang dukungan)
b. lack of information (kurang informasi)
c. dependence (ketergantungan)
d. self conflict (konlflik diri)
B.
Menentukan sebab-sebab, mencakup
perhatian hubungan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan yang dapat
menerangkan sebab-sebab gejala. Konselor menggunakan intuisinya yang dicek oleh
logika, oleh reaksi klien, oleh uji coba dari program kerja berdasarkan
diagnosa sementara.
C.
Prognosis yang sebenarnya
terkandung didalam diagnosis misalnya diagnosisnya kurang cerdas pronosisnya
menjadi kurang cerdas untuk pekerjaan sekolah yang sulit sehingga mungkin
sekali gagal kalau ingin belajar menjadi dokter. Kalau klien belum sanggup
berbuat demikian, maka Konselor bertanggung jawab dan membantu klien untuk
mencapai tingkat pengambilan tanggung jawab. Untuk dirinya sendiri, yang
berarti dia mampu dan mengerti secara logis, tetapi secara emosional belum mau
menerima.
4.
Tahap Konseling
Merupakan hubungan membantu klien untuk menemukan sumber diri sendiri
maupun sumber diluar dirinya, baik dilembaga, sekolah dan masyarakat dalam
upaya mencapai perkembangan dan penyesuaian optimal, sesuai dengan
kemampuannya. Dalam kaitan ini ada lima
jenis konseling adalah :
a.
belajar terpimpin menuju
pengertian diri
b.
mendidik kembali atau mengajar
kembali sesuai dengan kebutuhan individu sebagai alat untuk mencapai tujuan
kepribadiannya dan penyesuaian hidupnya.
c.
Bantuan pribadi dan Konselor, agar
klien mengerti dan trampil dalam menggunakan prinsip dan teknik yang diperlukan
dalam kehidupan sehari-hari.
d.
Mencakup hubungan dan teknik yang
bersifat menyembuhkan dan efektif.
e.
Mendidik kembali yang sifatnya
sebagai katarsis atau penyaluran
5.
Tahap Tindak Lanjut
Mencakup bantuan kepada klien dalam menghadapi maslaah baru dengan
mengingatkannya kepada masalah sumbernya sehingga menjamin keberhasilan
konsleing. Teknik yang digunakan harus disesuaikan dengan individualitas klien.
Teknik Konseling
1.
Pengunaan hungan intim (Rapport),
Konselor harus menerima konseli dalam hubungan yang hangat, intim, bersifat
pribadi, penuh pemahaman dan terhindar dari hal-hal yang mengancam konseli.
2.
Memperbaiki pemahaman diri, konseli
harus memahami kekuatan dan kelemahan dirinya, dan dibantu untuk menggunakan
kekuatannya dalam upaya mengatasi kelemahannya. Penafsiran data dan diagnosis
dilakukan bersama-sama dengan klien dan Konselor menunjukkan profil tes secara
arif.
3.
Pemberian nasehat dan perencanaan
program kegiatan. Konselor mulai dari pilihan, tujuan, pandangan atau sikap
Konselor dan kemudian menunjukkan data yang mendukung atau tidak mendukung dari
hasil diagnosis. Penjelasan mengenai pemberian nasehat harus dipahami klien.
a.
Tiga metode pemberian nasehat yang
dapat digunakan oleh Konselor :
b.
Nasehat langsung (direct
advising), dimana Konselor secara terbuka dan jelas menyatakan pendapatnya.
c.
Metode persuasif, dengna
menunjukan pilihan yang pasti secara jelas.
d.
Metode penjelasan, yang merupakan
metode ynag paling dikehendaki dan memuaskan. Konselor secara hati-hati dan
perlahan-lahan menjelaskan data diagnostic dan menunjukan kemungkinan situasi
yang menuntut penggunaan potensi konseli.
e.
Melaksanakan rencana, yaitu
Konselor memberikan bantuan dalam menetapkan pilihan atau keputusan secara
implementasinya.
4.
menunjukkan kepada petugas lain
(alih tangan) bila dirasa Konselor tidak dapat mengatasi masalah klien.
Kontribusi yang diberikan oleh
teori Trait & Faktor
1.
Teori sifat dan faktor menerapkan
pendekatan ilmiah kepada konseli.
2.
Penekanan pada penggunaan data tes
obyektif, membawa kepad aupaya perbaikan dalam pengembangan dan penggunaannya,
serta perbaikan dalam pengumpulan dan pengunaan data lingkungan.
3.
Penekanan yang diberikan pada diagnosis
mengandung makna sebagai suatu perhatian masalah dan sumbernya dan mengarah
pada upaya mengkreasikan teknik-teknik untuk mengatasinya.
4.
penekanan pada aspek kognitif
merupakan upaya menseimbangkan pandangan lain yang lebih menekankan aspek
afektik atau emosional.
II.a.2 Konseling
Rational Emotive (Albert Ellis)
dikenal dengan Rational Emotive Therapy (R.E.T)
Salah
satu teori utama mengenai kepribadian yang ditemukan oleh Albert Ellis dan para
penganut Rational Emotive therapy dikenal dengan “Teori A-B-C-D-E). teori ini
merupakan sentral dari teori dan praktek RET. Secara umum dijelaskan dalam
bagan sebagai berikut :
Komponen
|
Proses
|
|
A
|
Activity /
action / agent
Hal-hal,
situasi, kegiatan atau peristiwa yang mengawaliatau yang mengerakkan individu.
(antecedent or activating event)
|
External event
Kejadian
diluar atau sekitar individu
|
iB
rB
|
Irrational
Beliefs, yakni keyakinan-keyakinan irasional atau tidak layak terhadap
kejadian eksternal (A)
Rational
Beliefs, yakni keyakinan-keyakinan yang rasional atau layak dan secara
empirik mendukung kejadian eksternal (A)
|
Self
verbalization
Terjadi dalam
diri individu, yakni apa yang terus mnenerus ia katakan berhubungan dengan A
terhadap dirinya
|
iC
rC
|
Irrational
Consequences, yaitu konsekuensi-konsekuensi yang tidak layak yang berasal
dari (A)
Rational or
reasonable Consequences, yakni konsekuensi-konsekuensi rasional atau layak
yang dianggap berasal dari rB=keyakinan yang rasional
|
Rational
Beliefs, yakni keyakinan-keyakinan yang rasional atau layak secara empirik
mendukung kejadian-kejadian eksternal (A)
|
D
|
Dispute
irrational beliefs, yakni keyakinan-keyakinan irasional dalam diri individu
saling bertentangan (disputing)
|
Validate or
invalidate self-verbalization : yakni suatu proses self-verbalization dalam
diri individu, apakah valid atau tidak.
|
CE
|
Cognitive
Effect of Disputing,yakni efek kognitif yang terjadi dari pertentangan
(dispating) dalam keyakinan-keyakinan irasional.
|
Change
self-verbalization, terjadinya perubahan dalam verbalisasi dari pada individu.
|
BE
|
Behavioral
Effect of Disputing yakni efek dalam perilaku yang terjadi dalam pertentangan
dalam keyakinan-keyakinan irasional diatas.
|
Change
Behavior, yakni terjadinya perubahan perilaku dalam diri individu
|
Tujuan konseling Rasional-Emotif
1.
Memperbaiki dan merubah sikap,
persepsi, cara berpikir, keyakinan serta pandangan-pandangan klien yang
irasional dan tidak logis menjadi rasional dan logis agar klien dapat
mengembangkan diri, meningkatkan self actualizationnya seoptimal mungkin
melalui perilaku kognitif dan afektif yang positif.
2.
Menghilangkan gangguan-gangguan
emosional yang merusak diri sendiri seperti : rasa takut, rasa bersalah, rasa
berdosa, rasa cemas, merasa was-was, dan rasa marah. Konselor melatih dan
mengajar klien untuk menghadapi kenyataan-kenyataan hidup secara rasional dan
membangkitkan kepercayaan, nilai-nilai dan kemampuan diri sendiri.
Albert Ellis (1973) memberikan
gambaran tentang apa yang dapat dilakukan oleh praktisi rasional-emotive yaitu
:
a.
Mengajak, mendorong klien untuk menanggalkan
ide-ide irasional yang mendasari gangguan emosional dan perilaku.
b.
Menantang klien dengan berbagai
ide yang valid dan rasional.
c.
Menunjukkan kepada klien azas
ilogis dalam berpikirnya.
d.
Menggunakan analisis logis untuk
mengurangi keyakinan-keyakinan irasional (irrational beliefs) klien.
e.
Menunjukkan bahwa
keyakinan-keyakinan irasional ini adalah inoperative dan bahkan hal ini pasti
senantiasa mengarahkan klien pada gangguan-gangguan behavioral dan emosional.
f.
Menggunakan absurdity dan humaor
untuk menantang irasionalitas pemikiran klien.
g.
Menjelaskan kepada klien bagaimana
ide-ide irasional ini dapat ditempatkankembali dan disubtitusikan kepada
ide-ide rasional yang harus secara empirik melatar belakangi kehidupannya.
h.
Mengajarkan kepada klien bagaimana
mengaplikasikan pendekatan-pendekatan ilmiah, obyektif dan logis dalam berpikir
dan selanjutnya melatih diri klien untuk mengobservasi dan menghayati sendiri
bahwaide-ide irasional dan deduksi-deduksi hanya kan membantu perkembangan perilaku dan
perasaan-perasaan yang dapat menghambat perkembangan dirinya.
II.a.3
Konseling Behavioral (D.
Krumboltz, Carl E. Thoresen, Ray E. Hosfor , Bandura, Wolpe dll)
Konsep behavioral : perilaku manusia merupakan hasil belajar, sehingga
dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkresi kondisi-kondisi belajar. Pada
dasarnya, proses konseling merupakan suatu penataan proses atau pengalaman
belajar untuk membantu individu mengubah perilakunya agar dapat memecahkan
masalahnya.
Thoresen (shertzer & Stone
1980, 188) memberikan ciri-ciri konseling behavioral sebagai berikut :
1.
Kebanyakan perilaku manusia
dipelajari oleh sebab itu dapat diubah.
2.
Perubahan-perubahan khusus
terhadap lingkungan individu dapat membantu dalam mengubah perilaku-perilaku
yang relevan. Prosedur-prosedur konseling berusaha membawa perubahan-perubahan
yang relevan dalam perilaku klien dengan mengubah lingkungan
3.
Prinsip-prinsip belajar spesial
seperti : “reinforcement” dan “social modeling” , dapat digunakan untuk
mengembangkan prosedur-prosedur konseling.
4.
Keefektifan konseling dan hasil
konseling dinilai dari perubahan dalam perilaku-perilaku khusus diluar
wawancara prosedur-prosedur konseling.
5.
Prosedurprosedur konseling tidak
statik, tetap atau ditentukan sebelumnya, tetapi dapat secara khusus didesain
untuk membantu klien dalam memecahkan masalah khusus.
Proses konseling
Menurut Krumboltz dan Thoresen (Shertzer & Stone, 1980, 190)
konsseling behavior merupakan suatu proses membantu orang untuk memecahkan
masalah.interpersonal, emosional dan keputusan tertentu.
Urutan pemilihan dan penetapan tujuan dalan konseling yang digambarkan
oleh Cormier and Cormier (Corey, 1986, 178) sebagai salah satu bentuk kerja
sama antara konselor dan klien sebagai berikut :
- Konselor menjelaskan maksud dan tujuan.
- Klien mengkhususkan perubahan positif yang dikehendaki sebagai hasil konseling.
- Klien dan konselor menetapkan tujuan yang telah ditetapkan apakah merupakan perubahan yang dimiliki oleh klien.
- Bersama-sama menjajaki apakah tujuan itu realistik.
- Mendiskusikan kemungkinan manfaat tujuan.
- Mendiskusikan kemungkinan kerugian tujuan.
- Atas dasar informasi yang diperoleh tentang tujuan klien, konselor dan klien membuat salah satu keputusan berikut : untuk meneruskan konseling atau mempertimbangkan kembali tujuan akan mencari referal.
Metode yang dapat digunakan
- Pendekatan operant learning hal yang penting adalah pengutan (reinfocement) yang dapat menghasilkan perilaku klien yang dikehendaki.
- Metode Unitative Learning aau social modeling diterapkan oleh konselor dengna merancang suatu perilaku adaptif yang dpaat dijadikan model oleh klien.
- Metode Cognitive Learning atau pembelajaran kognitif merupakan metode yang berupa pengajaran secara verbal, kontrak antara konselor dan klien, dan bermain peranan.
- Metode Emotional Learning, atau pembelajaran emosional diterapkan pada individu yang mengalami suatu kecemasan.
II.a.4
Konseling Psikoanalisa (Sigmund
Freud, Carl Jung, Otto Rank, William Reich, Karen Honey, Adler. Harry Stack
Sullivan,dll)
Konsep Freud yang anti rasionalisme menekankan motivasi tidak sadar,
konflik, dan simbolisme sebagai konsep primer. Manusia pada hakekatnya bersifat
biologis, dilahirkan dengan dorongan-dorongan instingtif, dan perilaku
merupakan fungsi mereaksi secara mendalan terhadap dorongan-dorongan itu.
Manusia bersifat tidak rasional dan tidak sosial, dan destruktif terhadap
dirinya dan orang lain. Energi psikis yang paling dasar disebut libido yang
bersumber dari dorongan seksual yang terarah kepada pencapaian kesenangan.
Proses konseling
Tujuan konseling psikoanalitikadalah membentuk kembali struktur karakter
individu dengan membuat yang tidak sadar menjadi sadar dalam diri klien.
a.
Proses konseling dipusatkan pada
usaha menghayati kembali pengalaman-pengalaman masa kanak-kanak. Pengalaman
masa lampau ditata, didiskusikan, dianalisa dan ditafsirkan dengan tujuan untuk
merekonstruksi kepribadian.
b.
Konseling analitik menekankan
dimensi afektif dalam membuat pemahaman ketidak sadaran.
c.
Tilikan dan pemahaman intelektual
sangat penting, tetapi yang lebih adalah mengasosiasikan antara perasaan dan
ingatan dengan pemahaman diri.
d.
Satu karakteristik konseling
psikonalisa adalah bahwa terapi atau analisis bersikap anonim (tak dikenal) dan
bertindak sangat sedikit menunjukkan perasaan dan pengalamannya, sehingga
dengan demikian klien akan memantulkan perasaannya kepada konselor. Proyeksi
klien merupakan bahan terapi yang ditafsirkan dan dianalisia.
e.
Konselor harus membangun hunbungan
kerja sama dengan klien kemudian melakukan serangkaian kegiatan mendengarkan
dan menafsirkan.
f.
Menata proses terapeutik yang
demikian dalam konteks pemahaman struktur kepribadian dan psikodinamika
memungkinkan konselor merumuskan masalah klien secara sesungguhnya. Konselor
mengajari klien memaknai proses ini sehingga klien memperoleh tilikan mengenai masalahnya.
g.
Klien harus menyanggupi dirinya
sendiri untuk melakukan proses terapi dalam jangka panjang. Setiap pertemuan
biasa berlangsung satu jam.
h.
Setelah beberapa kali pertemuan
kemudian klien melakukan kegiatan asosiasi bebas. Yaitu klien mengatakan apa
saja ynag terlintas dalam pikirannya.
Teknik-teknik terapi
1.
Asosiasi bebas
2.
Interpretasi
3.
Analisis mimpi
4.
Analisis Resistensi
5.
Analisis transferensi (pemindahan)
II.a.5
Konseling Psikologi Individual (Alfred
Adler, Rudolph Dreikurs, Martin Son Tesgard, dan Donal Dinkmeyer)
Konstruk utama psikologi individual adalah bahwa perilaku manusia
dipandang sebagai suatu kompensasi terhadap perasaan inferioritas (kurang harga
diri). Istilah yang digunakan oleh Adler adalah “inferiority complex” untuk
menggambarkan keadaan perasaan harga diri kurang yang selalu mendorong individu
untuk melakukan kompensasi mencapai keunggulan. Perilaku merupakan suatu upaya
untuk mencapai keseimbangan.
Kompleks rasa rendah diri (inferiority complex) menurut Adler berasal
dari tiga sumber :
1.
Kekurangan dalam hal fisik
2.
Anak yang dimanja
3.
Anak yang mendapat penolakan
Proses Konseling
Tujuan konseling menurut Adler adalah mengurangi intensitas perasaan rasa
rendah diri (inferior), memperbaiki kebiasaan-kebiasaan yang salah dalam
persepsi, menetapkan tujuan hidup, mengembangkan kasih sayang terhadap orang
lain, dan meningkatkan kegiatan.
Menurut Ansbacher & Anbacher (Shertzer & Stone, 1980, 204) ada
tiga komponen pokok dalam proses konseling :
1.
Memperoleh pemahaman gaya hidup klein yang spesifik,
gejala dan masalahnya, melalui empati, intuisi dan penaksiran konselor. Dalam
unsur ini konselor membentuk hipotesis mengenai gaya hidup dan situasi klien.
2.
Proses menjelaskan kepada klien,
dalam komponen ini hipotesis gaya
hidup yang dikembangkan dalam komponen pertama harus ditafsirkan dan
dikomunikasikan dengan klien sehingga dapat diterima. Psikologi individual
menekankan pentingnya membantu klien untuk memperoleh tilikan terhadap
kondisinya.
3.
Proses memperkuat minat sosial,
klien dengan menghadapkan mereka, secara seimbang, dan menunjukkan minat dan
kepedulian mereka.
II.a.6 Konseling
Analisis Transaksional (Eric
Berne) pioner yang menerapkan analisa transaksional dalam psikoterapi.
Dalam terapi ini hubungan konselor dan klien dipandang sebgai suatu
transaksional (interaksi, tindakan yang diambil, tanya jawab) dimana
masing0masing partisipan berhubungan satu sama lain. Sebagai fungsi tujuan
tertentu. Transaksi menurut Berne merupakan
manivestasi hubungan sosial.
Berne membagi psikoterapi konvensional
menjadi dua kelompok
1.
Kelompok yangh melibatkan sugesti,
dukungan kembali (reassurence), dan fungsi parental lain.
2.
Kelompok yang melibatkan
pendekatan rasional, dengan menggunakan konfrontasi dan interpretasi seperti
terapi non direktif dan psiko analisa.
Proses Konseling
Tugas utama konselor yang menggunakan analisis transaksional adalah
mengajar bahasa dan ide-ide sistem untuk mendiagnosa transaksi.
Konselor transaksional selalu aktif, menghindarkan keadaan diam yang
terlalu lama, dan mempunyai tanggung jawab untuk memelihara perhatian pada
transaksi.
Tujuan konseling adalah :
1.
Membantu klien dalam memprogram
pribadinya.
2.
Klien dibantu untuk menjadi bebas
dalam berbuat, bermain, dan menjadi orang mandiri dalam memilih apa yang mereka
inginkan.
3.
Klien dibantu mengkaji keputusan
yang telah dibuat dan membuat keputusan baru atas dasar kesadaran.
4.
Teknik-teknik daftar cek, analisis
script atau kuisioner digunakan untuk mengenal keputusan yang telah dibuat
sebelumnya.
5.
Klien berpartisipasi aktif dalam diagnosis
dan diajar untuk membuat tafsiran dan pertimbangan nilai sendiri.
6.
Teknik konfrontasi juga dapat
digunakan dalam analisis transaksional dan pengajuan pertanyaan merupakan
pendeatan dasar.
7.
untuk berlangsungnya konseling
kontrak antara konselor dan klien sangat diperlukan.
II.a.7 Konseling Client Centered (Berpusat
Pada Klien) (Carl R. Roger)
menurut Roger
Konseling dan Psikoterapi tidak
mempunyai perbedaan. Konseling yang berpusat pada klien sebagai konsep
dan alat baru dalam terapi yang dapat diterapkan pada orang dewasa, remaja, dan
anak-anak.
Pendekatan konseling client centered menekankan pada kecakapan klien
untuk menentukan isu yang penting bagi dirinya dan pemecahan masalah dirinya.
Konsep pokok yang mendasari adalah hal yang menyangkut konsep-konsep mengenai
diri (self), aktualisasi diri, teori kepribadian,dan hakekat kecemasan. Menurut
Roger konsep inti konseling berpusat pada klien adalah konsep tentang diri dan
konsep menjadi diri atau pertumbuhan perwujudan diri.
Proses konseling
1.
Konseling memusatkan pada
pengalaman individual.
2.
konseling berupaya meminimalisir
rasa diri terancam, dan memaksimalkan dan serta menopang eksplorasi diri.
Perubahan perilaku datang melalui pemanfaatan potensi individu untuk menilai
pengalamannya, membuatnya untuk memperjelas dan mendapat tilikan pearasaan yang
mengarah pada pertumbuhan.
3.
Melalui penerimaan terhadap klien,
konselor membantu untuk menyatakan, mengkaji dan memadukan
pengalaman-pengalaman sebelunya ke dalam konsep diri.
4.
dengan redefinisi, pengalaman,
individu mencapai penerimaan diri dan menerima orang lain dan menjadi orang
yang berkembang penuh.
5.
Aawancara merupakan alat utama
dalam konseling untuk menumbuhkan hubungan timbal balik.
Karakteristik konseling berpusat
pada klien
1.
Fokus utama adalah kemampuan
individu memecahkan masalah bukan terpecahnya masalah.
2.
Lebih mengutamakan sasaran
perasaan dari pada intelek.
3.
Masa kini lebih banyak
diperhatikan dari pada masa lalu.
4.
Pertumbuhan emosional terjadi
dalam hubungan konseling.
5.
Proses terapi merupakan penyerasian
antara gambaran diri klien dengan keadaan dan pengalaman diri yang
sesungguhnya.
6.
Hubungan konselor dan klien
merupakan situasi pengalaman terapeutik yang berkembang menuju kepada
kepribadian klien yang integral dan mandiri.
7.
Klien memegang peranan aktif dalam
konseling sedangkan konselor bersifat pasif reflektif.
II.a.8 Konseling / Terapi Gestalt
(dikembangkan oleh Frederick S.
Peris 1989-1970) terapi ini dikembangkan dari sumber dan pengaruh tiga disiplin
yang sangat berbeda yaitu :
1.
Psikoanalisis terutama yang
dikembangkan oleh Wilhelm Reih
2.
Fenomenolohi eksistensialisme
Eropa dan
3.
Psikologi Gestalt
Peris menyatakan bahwa individu, dalam hal ini manusia, selalu aktif
sebagai keseluruhan, merupakan koordinasi dari seluruh organ. Kesehatan
merupakan keseimbangan yang layak. Pertentangan antara keberadaan sosial dan
biologis merupakan konsep dasar terapi Gestaslt.
Proses Konseling
Tujuan utama konseling Gestalt adalah meningkatkan proses pertumbuhan
klien dan membantu klien mengembangkan potensi manusiawinya.
Fokus utama dalam konseing Gestalt adalah membantu individu melalui
transisinya dari keadaan yang selalu dibantu oleh lingkungan ke keadaan mandiri
(selft-support).
Konselor membuat klien menjadi kecewa sehingga klien dipaksa untuk
menemukan caranya atau mengembangkan potensinya sendiri.
Konsep utama terapi Peris adalah
1.
Unfinished business yang tercakup
didalamnya adalah emisi-emosi, peristiwa-peristiwa, ingatan-ingatan (memories),
yang terhambat dinyatakan oleh individu yang bersangkutan.
2.
Avoidance atau penghindaran adalah
segala cara yang digunakan oleh seseorang untuk melarikan diri dari Unfinished
business. Bentuk-bentuk avoidance antara lain phobia, melarikan diri, mengganti
terapist, mengubah pasangan.
Garis-garis besar terapi Gestalt
1.
Fase pertama : membentuk pola
pertemuan terapeutik agar tercapai situasi yang memungkinkan
perubahan-perubahan yang diharapkan pada klien. Situasi mengandung komponen
emosional dan intuitif.
2.
Fase kedua : melaksanakan
pengawasan , konselor berusaha meyakinkan atau memaksa klien mengikuti prosedur
yang telah ditetapkan sesuai dengan keadaan klien. Dua hal yang harus dilakukan
:
a.
Menimbulkan motivasi pada klien.
b.
Menciptakan rapport yaitu hubungan
baik antara konselor dan klien agar timbul rasa percaya klien bahwa segala
usaha konselor itu disadari benar oleh klien untuk kepentingannya.
3.
Fase ketiga : klien didorong untuk
mengatakan perasaan-perasaannya pada pertemuan-pertemuan terapi saat ini, bukan
menceritakan masa lalu atau harapan-harapan masa datang.
4.
Fase terakhir : setelah klien
memperoleh pemahaman dan penyadaran tentang dirinya, tindakannya, perasaannya,
maka terapi ada pada fase terakhir. Pada fase ini klien harus memiliki
ciri-ciri yang menunjukan integritas kepribadiannya sebagai individu yang unik
dan manusiawi. Klien harus memiliki kepercayaan pada potensinya. Menyadari
diriny, sadar dan bertanggung jawab atas sifat otonominya, perbuatannya,
perasaan-perasaannya, pikiran-pikirannya.
II.b Kasus
pada Bimbingan Konseling
II.b.1
Kasus pertama : Kasus didapat dari pencarian di media telekomunikasi internet
dengan alamat :
A. Latar Belakang
Lia (bukan nama sebenarnya) adalah siswa kelas X SLTA Favorit di Bogor
yang baru saja naik kelas II. Ia berasal dari keluarga petani yang terbilang
cukup secara sosial ekonomi di desa pedalaman + 17 km di luar kota Bogor,
sebagai anak pertama semula orang tuanya berkeberatan setamat SLTP anaknya
melanjutkan ke SLTA di Bogor; orang tua sebetulnya berharap agar anaknya tidak
perlu susah-sudah melanjutkan sekolah ke kota, tapi atas bujukan wali kelas
anaknya saat pengambilan STTB dengan berat merelakan anaknya melanjutkan sekolah.
Pertimbangan wali kelasnya karena Lia terbilang cerdas diantara teman-teman
yang lain sehingga wajar jika bisa diterima di SLTA favorit. Sejak diterima di
SLTA favorit di satu pihak Lia bangga sebagai anak desa toh bisa diterima,
tetapi di lain pihak mulai minder dengan teman-temannya yang sebagian besar
dari keluarga kaya dengan pola pergaulan yang begitu beda dengan latar belakang
Lia. Ia menganggap teman-teman dari keluarga kaya tersebut sebagai orang yang
egois, kurang bersahabat, pilih-pilih teman yang sama-sama dari keluarga kaya
saja, dan sombong. Makin lama perasaan ditolak, terisolir, dan kesepian makin
mencekam dan mulai timbul sikap dan anggapan sekolahnya itu bukan untuk dirinya
tidak krasan, tetapi mau keluar malu dengan orang tua dan temannya sekampung;
terus bertahan, susah tak ada/punya teman yang peduli. Dasar saya anak desa,
anak miskin (dibanding teman-temannya di kota)
hujatnya pada diri sendiri. Akhirnya benar-benar menjadi anak minder, pemalu
dan serta ragu dan takut bergaul sebagaimana mestinya. Makin lama nilainya
makin jatuh sehingga beban pikiran dan perasaan makin berat, sampai-sampai ragu
apakah bisa naik kelas atau tidak.
B. Memahami Lia Dalam Perspektif
Rasional Emotif
Menurut pandangan rasional emotif, manusia memiliki kemampuan inheren
untuk berbuat rasional ataupun tidak rasional, manusia terlahir dengan
kecenderungan yang luar biasa kuatnya berkeinginan dan mendesak agar supaya
segala sesuatu terjadi demi yang terbaik bagi kehidupannya dan sama sekali
menyalahkan diri sendiri, orang lain, dan dunia apabila tidak segera memperoleh
apa yang diinginkannya. Akibatnya berpikir kekanak-kanakan (sebagai hal yang
manunusiawi) seluruh kehidupannya, akhirnya hanya kesulitan yang luar biasa
besar mampu mencapai dan memelihara tingkah laku yang realistis dan dewasa;
selain itu manusia juga mempunyai kecenderungan untuk melebih-lebihkan
pentingnya penerimaan orang lain yang justru menyebabkan emosinya tidak
sewajarnya seringkali menyalahkan dirinya sendiri dengan cara-cara pembawaannya
itu dan cara-cara merusak diri yang diperolehnya. Berpikir dan merasa itu
sangat dekat dan dengan satu sama lainnya : pikiran dapat menjadi perasaan dan
sebaliknya; Apa yang dipikirkan dan atau apa yang dirasakan atas sesuatu
kejadian diwujudkan dalam tindakan/perilaku rasional atau irasional. Bagaimana
tindakan/perilaku itu sangat mudah dipengaruhi oleh orang lain dan
dorongan-doronan yang kuat untuk mempertahankan diri dan memuaskan diri
sekalipun irasional.
Ciri-ciri irasional seseorang tak dapat dibuktikan kebenarannya,
memainkan peranan Tuhan apa saja yang dimui harus terjadi, mengontrol dunia,
dan jika tidak dapat melakukannya dianggap goblok dan tak berguna; menumbuhkan
perasaan tidak nyaman (seperti kecemasan) yang sebenarnya tak perlu, tak
terlalu jelek/memalukan namun dibiarkan terus berlangsung, dan menghalangi
seseorang kembai ke kejadian awal dan mengubahnya. Bahkan akhirnya menimbulkan
perasaan tak berdaya pada diri yang bersangkutan. Bentuk-bentuk
pikiran/perasaan irasional tersebut misalnya : semua orang dilingkungan saya
harus menyenangi saya, kalau ada yang tidak senang terhadap saya itu berarti
malapetaka bagi saya. Itu berarti salah saya, karena saya tak berharga, tak
seperti orang/teman-teman lainnya. Saya pantas menderita karena semuanya itu.
Sehubungan dengan kasus, Lia sebetulnya terlahir dengan potensi unggul,
ia menjadi bermasalah karena perilakunya dikendalikan oleh pikiran/perasaan
irasional; ia telah menempatkan harga diri pada konsep/kepercayaan yang salah
yaitu jika kaya, semua teman memperhatikan / mendukung, peduli, dan lain-lain
dan itu semua tidak ada/didapatkan sejak di SLTA, sampai pada akhirnya
menyalahkan dirinya sendiri dengan hujatan dan penderitaaan serta mengisolir
dirinya sendiri. Ia telah berhasil membangun konsep dirinya secara tidak
realistis berdasarkan anggapan yang salah terhadap (dan dari) teman-teman
lingkungannya. Ia menjadi minder, pemalu, penakut dan akhirnya ragu-ragu
keberhasilan/prestasinya kelak yang sebetulnya tidak perlu terjadi.
C. Tujuan Dan Teknik Konseling
Jika pemikiran Lia yang tidak logis / realistis (tentang konsep dirinya
dan pandangannya terhadap teman-temannya) itu diperangi maka dia akan
mengubahnya. Dengan demikian tujuan konseling adalah memerangi pemikiran
irasional Lia yang melatar-belakangi ketakutan / kecematannya yaitu konsep
dirinya yang salah beserta sikapnya terhadap teman lain. Dalam konseling
konselor lebih bernuansa otoritatif : memanggil Lia, mengajak berdiskusi dan
konfrontasi langsung untuk mendorongnya beranjak dari pola pikir irasional ke
rasional / logis dan realistis melalui persuasif, sugestif, pemberian nasehat
secara tepat, terapi dengan menerapkan prinsip-prinsip belajar untuk PR serta
bibliografi terapi.
Konseling kognitif : untuk menunjukkan bahwa Lia harus membongkar pola
pikir irasional tentang konsep harga diri yang salah, sikap terhadap sesama
teman yang salah jika ingin lebih bahagia dan sukses. Konselor lebih bergaya
mengajar : memberi nasehat, konfrontasi langsung dengan peta pikir
rasional-irasoonal, sugesti dan asertive training dengan simulasi diri
menerapkan konsep diri yang benar dan sikap/ketergantungan pada orang lain yang
benar/rasional dilanjutkan sebagai PR melatih, mengobservasi dan evaluasi diri.
Contoh : mulai dari seseorang berharga bukan dari kekayaan atau jumlah dan
status teman yang mendukung, tetapi pada kasih Allah dan perwujudanNya. Allah
mengasihi saya, karena saya berharga dihadiratNya. Terhadap diri saya sendiri
suatu saat saya senang, puas dan bangga, tetapi kadang-kadang acuh-tak acuh, bahkan
adakalanya saya benci, memaki-maki diri saya sendiri, sehingga wajar dan
realistis jika sejumlah 40 orang teman satu kelas misalnya ada + 40% yang baik,
50% netral, hanya 10% saja yang membeci saya. Adalah tidak mungkin menuntut
semua / setiap orang setiap saat baik pada saya, dan seterusnya. Ide-ide ini
diajarkan, dan dilatihkan dengan pendekatan ilmiah.
Konseling emotif-evolatif untuk mengubah sistem nilai Lia dengan
menggunakan teknik penyadaran antara yang benar dan salah seperti pemberian
contoh, bermain peran, dan pelepasan beban agar Lia melepaskan pikiran dan
perasaannya yang tidak rasional dan menggantinya dengan yang rasional sebagai
kelanjutan teknik kognitif di atas. Konseling behavioritas digunakan untuk
mengubah perilaku yang negatif dengan merobah akar-akar keyakinan Lia yang
irasional/tak logis kontrak reinforcemen, sosial modeling dan
relaksasi/meditasi.
D. Penutup
Teori ini dalam menolong menggunakan pendekatan direct menggunakan
nasehat yang ditandai oleh menyerang masalah dengan intektual dan meyakinkan
(koselor). Tekniknya jelas, teliti, makin melihat/menyadari pikiran dan
kata-kata yang terus menerus ditujukan kepada diri sendiri, yang membawa
kehancuran kepada diri sendiri. Cara konselor ialah dengan pendekatan yang
tegas, memintakan perhatian kepada pikiran-pikiran yang menjadi sebab gangguan
itu dan bagaimana pikiran dan kalimat itu beroperasi hingga membawa akibat yang
merugikan. Konselor selanjutnya menolong dia untuk memikir kembali, menantang,
mendebat, menyebutkan kembali kalimat-kalimat yang merugikan itu, dan dengan
cara demikian ia membawa klien ke kesadaran dan tilikan baru. Tetapi tilikan
dan kesadaran tidak cukup. Ia harus dilatih untuk berpikir dan berkata kepada
diri sendiri hal-hal yang lebih positive dan realistik. Terapis mengajar klien
untuk berpikir betul dan bertindak efektif. Teknik yang dipakai bersifat
eklektif dengan pertimbangan :
1.
Ekonomis dari segi waktu baik bagi
konselor maupun konseling.
2.
Efektifitas teknis-teknis yang
dipakai cocok untuk bermacam ragam konseling.
3.
Kesegaran hasil yang dicapai.
4.
Kedalaman dan tanah lama serta
dapat dipakai konseli untuk mengkonseling dirinya sendiri kalah.
Kesimpulannya, penstrukturan kembali filosofis untuk merubah kepribadian
yang salah berfungsi menyangkut langkah-langkah sebagai berikut : (1) mengakui
sepenuhnya bahwa kita sebagian besar bertanggungjawab penciptaan
masalah-masalah kita sendiri; (2) menerima pengertian bahwa kita mempunyai
kemampuan untuk merubah gangguan-gangguan secara berarti; (3) menyadari bahwa
problem-problem dan emosi kita berasal dari kepercayaan-kepercayaan tidak
rasional ; (4) mempersepsi dengan jelas kepercayaan-kepercayaan ini; (5)
menerima kenyataan bahwa, jika kita mengharap untuk berubah, kita lebih baik
harus menangani cara-cara tingkah laku dan emosi untuk tindak balasan kepada
kepercayaan-kepercayaan kita dan perasaan-perasan yang salah fungsi dan
tindakan-tindakan yang mengikuti; dan (6) mempraktekkan metode-metode RET untuk
menghilangkan atau merubah konsekuensi-konsekuensi yang terganggu pada sisa
waktu hidup kita ini.
II.b.2
Contoh kasus kedua : Kasus didapat dari pencarian di media massa Koran harian Radar Lampung tertanggal Senin, 25 Oktober 2010 dengan judul :
“Pelajar Curi Motor saat Jam Istirahat”.
A. Kasus
Mesuji – Fenomena baru
pencurian kendaraan bermotor (curanmor) mulai bergeser dari pelaku kawakan ke
oknum pelajar. Itu terungkap saat pelajar yang masing-masing berinisial Sa (18)
So (13), keduanya warga Kecamatan Pancajaya, Mesuji, ditangkappetugas kemarin.
Sa yang merupakan pelajar
SMK dan So pelajar SMP di Simpangpematang digelandang petugas polsek setempat
dari dua tempat berbeda. Sa ditangkap dirumahnya di Kampung Fajarindah.
Sedangkan So dibekuk di sekolah. Dari dua tersangka disitabarang bukti berupa
uang tunai, handphone, dan satu unti sepeda motor Yamaha RX King hasil
kejahatan mereka.
Dari pengakuan kedua
tersangka di Mapolsek Simpangpematang, mereka masing-masing telah menggasak
satu unit kendaraan. Yaitu Yamaha RX King BE5991TO warna biru atas nama
Oktinawati Saheri dan Vega R dengan nopol BE 5181TO milik Hasan Riadi.
Kapolsek Simpangpematang
AKP Nelson F.Manik mewakili Kapolres Tulangbawang AKBP Dwi Irianto, S.I.K.
mengatakan, pihaknya tengah menganalisis perkembangan dan perubahan pola
curanmor yang terjadi di wilayah hukumnya dalam satu bulan terakhir.
“Awalnya kami mengarah ke
pelaku yang sudah kawakan, namun ternyata tren berubah. Kini justru anak-anak
sekolah yang melakukan tindak curanmor tersebut,” ujarnya.
Kedua tersangka tersebut,
lanjut Nelson, saat ini sedang dalam proses pengembangan. Karena dari tiga
kasus penodongan dan pencurian kendaraan di Simpangpematang, ternyata
berkaitan.
“meski pelakunya berbeda,
motif dan arah distribusi kendaraanya sama,” terang mantan kapolsek
Rebangtangkas ini. Dalam satu bulan terakhir, dua pelaku telah melakukan dua
aksi pencurian. Pertama, motor Vega milik Hasan pada 20 September 2010.
Peristiwa itu terjadi pukul 11.00 WIB saat anak-anak sekolah sedang istirahat
di SMP Simpangpematang.
Kedua, di MAN
Simpangpematang. Dimana kedua pelaku mengambil motor RX King milik Saheri pada
26 Oktober 2010.
B. Prediksi Kasus
Pendekatan yang penulis lakukan yakni dengan teori Konseling Rational
Emotive yang dikemukakan Albert
Ellis atau teori ini dikenal dengan Rational Emotive Therapy (R.E.T).
Seperti dikemukakan oleh Albert
Ellis, dalam teori ini bahwasannya kepribadian merupakan factor penyebab
teradinya pelanggaran yang dilakukan peserta didik, dalam hal ini peserta didik
seperti contoh diatas melakukan pelanggaran yang sangat berat. Dalam kasus
diatas penanganan peserta didik dari berbagai pihak sangat kurang, Albert Ellis
menjelaskan pada bagan nya ; Activity / action / agent, Hal-hal,
situasi, kegiatan atau peristiwa yang mengawali atau yang mengerakkan individu.
(antecedent or activating event) merupakan komponen yang melandasi kepribadian
peserta didik, yang kemudian Albert Ellis merumuskan akibat dari komponen
tersebut yang disebut proses yakni Ekternal Event atau kejadian diluar atau
disekitar individu. Dari konsep rumusan teori Albert Ellis, kasus yang menimpa
pelajar untuk melakukan pencurian kendaran bermotor bukan kesalahan
individualitas peserta didik, dijelaskan bahwasannya situasi, kegiatan, atau
peristiwa yang mengawali atau menggerakan individu itu darimana berasal, tidaklah
mungkin hal tersebut bersumber dari ide sang peserta didik. Kita dapat
mengamati lingkungan keluarga, lingkungan ekonomi, lingkungan bermain dan
lingkungan sekolah. Kurangnya perhatian dari berbagai pihak yang ikut
bertanggungjawab atas kepribadian yang tidak baik ini menjadi sorotan utama
dalam kasus bimbingan konseling. Yang kedua Albert Ellis mengemukakan bahwa
dalam hal kepribadian ini Irrational Beliefs, yakni keyakinan-keyakinan
irasional atau tidak layak terhadap kejadian eksternal, Rational Beliefs, yakni
keyakinan-keyakinan yang rasional atau layak dan secara empirik mendukung
kejadian eksternal, yang mengakibatkan Self verbalization, Terjadi dalam diri
individu, yakni apa yang terus mnenerus ia katakan berhubungan dengan A
terhadap dirinya. Dapat kita lihat kembali latar belakang masalah diatas,
bahwasannya masa remaja adalah masa yang rentan terhadap berbagai gangguan dari
luar, dimana kasus kepribadian yang buruk menjadi salah satu kelemahan mental
remaja dalam menghadapi era teknologi informasi. Dapat kita lihat dari kasus
bahwasannya yang dicuri oleh pelajar adalah kendaraan bermotor. Lingkungan yang
sehat tidak mengajarkan bagaimana seseorang untuk mencuri, lingkungan yang
sehat juga tidak mengajarkan untuk mendapatkan uang yang haram, dan sebaliknya
lingkungan yang kurang baik mengakibatkan pergaulan yang kurang baik pula,
bagaimana sang pelajar memperoleh ilmu mencuri kendaraan bermotor tentu sangat
sulit untuk ditemukan dalam kondisi lingkungan yang sehat.
C. Penyelesaian Kasus
Dalam teori ini Albert Ellis merumuskan tujuan dari teori Rational Emotive yakni ; 1.
Memperbaiki dan merubah sikap, persepsi, cara berpikir, keyakinan serta
pandangan-pandangan klien yang irasional dan tidak logis menjadi rasional dan
logis agar klien dapat mengembangkan diri, meningkatkan self actualizationnya
seoptimal mungkin melalui perilaku kognitif dan afektif yang positif. 2.
Menghilangkan gangguan-gangguan emosional yang merusak diri sendiri seperti :
rasa takut, rasa bersalah, rasa berdosa, rasa cemas, merasa was-was, dan rasa
marah. Konselor melatih dan mengajar klien untuk menghadapi kenyataan-kenyataan
hidup secara rasional dan membangkitkan kepercayaan, nilai-nilai dan kemampuan
diri sendiri.
Gambaran yang dapat dilakukan
oleh praktisi rasional-emotive yaitu :
a.
Mengajak, mendorong peserta didik
untuk menanggalkan ide-ide irasional yang mendasari gangguan emosional dan
perilaku yang kurang baik, seperti pencurian kendaraan bermotor, mengajak
peserta didik dan mendorongnya untuk meninggalkan lingkungan yang kurang baik,
karena peserta didik masih memiliki jalan yang sangat panjang, sayang sekali
bila dihabiskan waktu hanya keluar masuk bui..
b.
Memberikan dorongan pada bakat dan
kreatifitasnya dalam pembelajaran untuk kedepannya nanti.
c.
Menggunakan analisis logis untuk
mengurangi keyakinan-keyakinan irasional (irrational beliefs) peserta didik.
d.
Menunjukkan bahwa
keyakinan-keyakinan irasional ini adalah inoperative dan bahkan hal ini pasti
senantiasa mengarahkan klien pada gangguan-gangguan behavioral dan emosional.
e.
Menggunakan absurdity dan humaor
untuk menantang irasionalitas pemikiran peserta didik.
f.
Menjelaskan kepada peserta didik
bagaimana ide-ide irasional ini dapat ditempatkan kembali dan disubtitusikan
kepada ide-ide rasional yang harus secara empirik melatar belakangi
kehidupannya.
g.
Mengajarkan kepada peserta didik
bagaimana mengaplikasikan pendekatan-pendekatan ilmiah, obyektif dan logis
dalam berpikir dan selanjutnya melatih diri klien untuk mengobservasi dan
menghayati sendiri bahwa ide-ide irasional dan deduksi-deduksi hanya kan membantu
perkembangan perilaku dan perasaan-perasaan yang dapat menghambat perkembangan
dirinya.
II.b.1
Kasus pertama : Kasus didapat dari pencarian di media telekomunikasi internet
dengan alamat :
A. Latar Belakang
Sebagai seorang guru
yang sehari-hari mengajar di sekolah, tentunya tidak jarang harus menangani
anak-anak yang mengalami kesulitan dalam belajar. Anak-anak yang sepertinya
sulit sekali menerima materi pelajaran, baik pelajaran membaca, menulis, serta
berhitung yang merupakan kebutuhan dasar yang akan dipelajari pada saat sekolah
dasar. Hal ini terkadang membuat guru menjadi frustasi memikirkan bagaimana
menghadapi anak-anak seperti ini. Demikian juga para orang tua yang memiliki
anak-anak yang memiliki kesulitan dalam belajar. Harapan agar anak mereka
menjadi anak yang pandai, mendapatkan nilai yang baik di sekolah menambah
kesedihan mereka ketika melihat kenyataan bahwa anak-anak mereka kesulitan
dalam belajar.
Akan tetapi yang lebih menyedihkan adalah perlakuan yang diterima anak yang mengalami kesulitan belajar dari orang tua dan guru yang tidak mengetahui masalah yang sebenarnya, sehingga mereka memberikan cap kepada anak mereka sebagai anak yang bodoh, tolol, ataupun gagal tanpa memahami dan menelusuri latar belakang, sebab akibat kenapa anka tersebut mengalami kegagalan dalam belajar.
Fenomena ini kemudian menjadi perhatian para ilmuan yang tertarik dengan masalah kesulitan belajar. Begitu juga para mahasiswa yang pada saat melakukan penelitian di sekolah dasar melihat bahwa kebanyakan guru belum maksimal dalam upaya pemberian bantuan terhadap kesulitan belajar ank di sekolah. Untuk itu penulis terpanggil untuk memberikan beberapa masukan dan saran kepada pihak sekolah yang diteliti.
Adalah Sekolah Dasar Muhammadiyah Waringinsari Kecamatan Sukoharjo, Pringsewu, Lampung. Kalau dilihat dari profilnya, sekolah ini termasuk sekolah unggulan di Kecamatan Sukoharjo. Hal ini dibuktikan dengan pemantauan peneliti sendiri setelah melihat beberapa piagam dan piala baik itu di bidang akademiik, olahraga, maupun seni budaya. Dan ketika peneliti sendiri mewawancarai Kepala Sekolah, Bapak Sudarto, S. Ag., membenarkan akan hal itu. Keunggulan sekolah ini juga ditandai dengan hasil dari Badan akreditasi Sekolah Kabupaten Tanggamus Tahun 2008 dengan predikat nilai B (plus).
Walaupun demikian, tentunya walaupun sekolah ini merupakan termasuk sekolah unggulan, peneliti mengamati tentang pelayanan bantuan bimbingan belajar terhadap siswa masih belum berjalan dengan baik. Untuk itu dalam makalah ini penulis akan mencoba melakukan penelitian terhadap 2 murid kelas 5 (lima).
A.1 Profil Sekolah
Profil SD
Muhammadiyah Waringinsari ini merupakan salah satu sekolah unggulan di
Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Pringsewu. Adapun profil sekolah ini sebagaimana
terlampir.
A.2 Identifikasi Siswa
1.
Identifikasi Siswa A dan Orang Tua
A
a.
Siswa
Nama : Bagas Zakariya
Tempat Tanggal Lahir
: Waringinsari, 26 April 1997
Nis :
9977236224
Kelas : V (lima)
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pendidikan
sebelumnya :
Alamat Siswa : Waringinsari Kecamatan
Sukoharjo
b. Orang Tua
Ayah : Budi Suyoto
Pekerjaan : Petani
Ibu : Sunarti
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
2. Identifikasi Siswa B dan orang tua B
a.
Siswa
Nama : Anwar Sayuti
Tempat Tanggal Lahir
: Waringinsari, 12 Mei 1998
Nis :
9987099945
Kelas : V (lima)
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pendidikan sebelumnya
: -
Alamat Siswa : Waringinsari Kecamatan
Sukoharjo
2. Orang Tua
Ayah : Maslah
Pekerjaan : Petani/ Ustadz
Ibu : Sarwiyah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
B. Identifikasi Kesulitan Belajar
B.1 Defenisi
Kesulitan Belajar
Aktifitas belajar
bagi setiap individu, tidak selamanya dapat berlangsung secara wajar.
Kadang-kadang lancar, kadang-kadang tidak, kadang-kadang dapat cepat menangkap
apa yang dipelajari, kadang-kadang terasa amat sulit. Dalam hal semangat,
terkadang semangatnya tinggi, tetapi juga sulit untuk mengadakan konsentrasi.
Demikian kenyataan yang sering kita jumpai pada setiap anak didik dalam
kehidupan sehari-hari dalam kaitannya dengan aktifitas belajar. Setiap individu
memang tidak ada yang sama. perbedaan individu ini pulalah yang menyebabkan
perbedaan tingkah laku dikalangan anak didik. “dalam keadaan di mana anak didik
/ siswa tidak dapat belajar sebagaimana mestinya, itulah yang disebut dengan
kesulitan belajar. Kesulitan belajar merupakan kekurangan yang tidak nampak secara
lahiriah. Ketidak mampuan dalam belajar tidak dapat dikenali dalam wujud fisik
yang berbeda dengan orang yang tidak mengalami masalah kesulitan belajar.
Kesulitan belajar ini tidak selalu disebabkan karena factor intelligensi yang
rendah (kelaianan mental), akan tetapi dapat juga disebabkan karena faktor lain
di luar intelligensi. Dengan demikian, IQ yang tinggi belum tentu menjamin
keberhasilan belajar. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kesulitan belajar
adalah suatu kondisi proses belajar yang ditandai hambatan-hambatan tertentu
dalam mencapai hasil belajar.
Dalam kegiatan pembelajaran di sekolah, kita dihadapkan dengan sejumlah karakterisktik siswa yang beraneka ragam. Ada siswa yang dapat menempuh kegiatan belajarnya secara lancar dan berhasil tanpa mengalami kesulitan, namun di sisi lain tidak sedikit pula siswa yang justru dalam belajarnya mengalami berbagai kesulitan. Kesulitan belajar siswa ditunjukkan oleh adanya hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar, dan dapat bersifat psikologis, sosiologis, maupun fisiologis, sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan prestasi belajar yang dicapainya berada di bawah semestinya.
Kesulitan belajar siswa mencakup pengetian yang luas, diantaranya : (a) learning disorder; (b) learning disfunction; (c) underachiever; (d) slow learner, dan (e) learning diasbilities. Di bawah ini akan diuraikan dari masing-masing pengertian tersebut.
a. Learning Disorder atau kekacauan belajar adalah keadaan dimana proses belajar seseorang terganggu karena timbulnya respons yang bertentangan. Pada dasarnya, yang mengalami kekacauan belajar, potensi dasarnya tidak dirugikan, akan tetapi belajarnya terganggu atau terhambat oleh adanya respons-respons yang bertentangan, sehingga hasil belajar yang dicapainya lebih rendah dari potensi yang dimilikinya. Contoh : siswa yang sudah terbiasa dengan olah raga keras seperti karate, tinju dan sejenisnya, mungkin akan mengalami kesulitan dalam belajar menari yang menuntut gerakan lemah-gemulai.
b. Learning Disfunction merupakan gejala dimana proses belajar yang dilakukan siswa tidak berfungsi dengan baik, meskipun sebenarnya siswa tersebut tidak menunjukkan adanya subnormalitas mental, gangguan alat indra, atau gangguan psikologis lainnya. Contoh : siswa yang yang memiliki postur tubuh yang tinggi atletis dan sangat cocok menjadi atlet bola volley, namun karena tidak pernah dilatih bermain bola volley, maka dia tidak dapat menguasai permainan volley dengan baik.
c. Under Achiever mengacu kepada siswa yang sesungguhnya memiliki tingkat potensi intelektual yang tergolong di atas normal, tetapi prestasi belajarnya tergolong rendah. Contoh : siswa yang telah dites kecerdasannya dan menunjukkan tingkat kecerdasan tergolong sangat unggul (IQ = 130 – 140), namun prestasi belajarnya biasa-biasa saja atau malah sangat rendah.
d. Slow Learner atau lambat belajar adalah siswa yang lambat dalam proses belajar, sehingga ia membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan sekelompok siswa lain yang memiliki taraf potensi intelektual yang sama.
e. Learning Disabilities atau ketidakmampuan belajar mengacu pada gejala dimana siswa tidak mampu belajar atau menghindari belajar, sehingga hasil belajar di bawah potensi intelektualnya.
B.2 Identifikasi Kesulitan Belajar Siswa
Seperti yang penulis
sampaikan pada latar belakang tentang profil SD Muhammadiyah Waringinsari
Kecamatan Sukuharjo, bahwa sekolah ini merupakan sekolah unggulan (keterangan
terlampir). Namun setelah penulis menagadakan penelitian dengan menggunakan
metode wawancara dan menganalisa data khususnya kelas V (lima). Masih ada beberapa murid yang
mengalami kesulitan belajar. Tentunya kesulitan belajar itu diakibatkan oleh
beberapa faktor. Namun pada kesempatan kali ini penulis hanya akan mencoba
menagmbil sampel pada 2 murid yang berada di kelas V yaitu BZ dan AS. Dimana
dua murid ini memiliki masalah kesulitan belajar yang berbeda. BZ memiliki
kesulitan belajar Under Achiever dan AS memiliki kesulitan belajar Slow Leaner
(lambat dalam belajar). Adapun sebab penulis menyimpulkan kesulitan belajar
tersebut setelah melakukan analisis seperti yang dijelaskan berikut ini :
a. Pengumpulan Data
Didalam pengumpulan
data penulis memperoleh data tentang kesulitan belajar tersebut menggunakan
metode observasi dan wawancara (interview) dengan wali kelas V yaitu Ibu
Ismawati S. Pd.
Adapun data yang diperoleh yaitu jumlah keseluruhan murid adalah 28 orang, yang terdiri dari 18 laki-laki dan 10 perempuan. Dari jumlah keseluruhan murid tersebut sebenarnya kesulitan belajarnya tidak terlalu banyak hanya beberapa macam. Namun untuk kedua murid ini memiliki kesulitan belajar. Seperti yang disampaikan Wali Kelas V (lima) Ibu Ismawati, S. Pd., “sebenarnya murid di kelas V (lima) ini secara rata-rata sudah memuaskan dalam hasil belajar. Namun si BZ dan AS ini memiliki masalah apalagi nilai kedua murid tersebut sangat rendah. Kami juga telah memberikan beberapa layanan namun belum juga berhasil dan hasilnya nilai semester ganjil Tahun 2009/2010 ini juga belum memuaskan. Si BZ itu sebenarnya kalau belajar ditanya dia pasti bisa menjawab namun dia itu sering menggangu teman dan tugas-tugas jarang dikerjakan. AS lain lagi, dia itu sangat susah menangkap pelajaran hal ini juga disampaikan oleh teman-teman guru bidang studi”.
Setelah penulis melakukan interviu, sudah bisa kami simpulkan apa sebenarnya kesulitan belajar yang dialami kedua murid tersebut.
b. Pengolahan Data
Setelah melakukan
pengumpulan data melalui observasi dan wawancara. Penulis sudah memahami bahwa
murid tersebut mengalami kesulitan belajar yang berbeda. Seperti yang
disampaikan wali kelas V, kami menyimpulkan bahwa :
1) BZ itu kesulitan belajarnya adalah Under Achiever yakni mengacu kepada siswa yang sesungguhnya memiliki tingkat potensi intelektual yang tergolong di atas normal, tetapi prestasi belajarnya tergolong rendah.
2) AS itu kesulitan belajarnya Slow Learning atau lambat belajar adalah siswa yang lambat dalam proses belajar, sehingga ia membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan sekelompok siswa lain yang memiliki taraf potensi intelektual yang sama.
c. Diagnosis
Setelah menyimpulkan
masalah yang dialami kedua murid tersebut. Timbulnya masalah yang dihapi BZ dan
AS disebabkan oleh faktor yaitu :
1) BZ
Setelah melihat
data-data sendiri dan mendapat hasil home visit wali kelas, dapat dilihat bahwa
latar belakang keluarga yang berasal dari petani dan ibu hanya sebagai ibu
rumah tangga. Di rumah BZ jarang diperhatikan belajarnya. Dan perhatian khusus
kedua orang tuanya tentang perkembangan belajarnyapun jarang. Ibunya sendiri
yang hanya di rumah sibuk ngurusin adik-adiknya. Walaupun sebenarnya masih ada
waktu banyak untuk meluangkan waktu untuk memperhatikan belajarnya BZ, namun
itupun tidak dilakukan. Selain kurang perhatian, keluarga BZ juga sangat
sederhana dan pas-pasan. Waktu home visite Ibunya menyampaikan BZ sering minta
dibelikan buku, namu karena tidak ada maka tidak diberikan.
2) AS
Latar belakang
keluarganya sama dengan BZ, namun AS ini memang memiliki keterlambatan menagkap
pelajaran. Hal ini disebabkan kurang perhatiannya orang tuanya tetang kebutuhan
gizi dan vitamin bagi AS. Itu terbukti ketika melihat menu makanan sehari-hari
sangatlah jauh dari 4 sehat lima
sempurna. Ditambah lagi orang tuanya dirumah acuh-tak acuh terhadap proses
belajarnya
d. Prognosis
Setelah melakukan diagnosis
kesulitan belajar murid tersebut, pihak sekolah melalui wali kelas telah
melakukan beberapa hal yakni :
1)
Bimbingan Pribadi
2)
Kunjungan Rumah (home visit)
e. Alih Tangan Kasus
Dari jenis masalah
yang dimiliki BZ dan AS, pihak sekolah maupun guru belum mengadakan Alih Tangan
Kasus.
f. Evaluasi dan Follow Up
Setelah memberikan
beberapa macam layanan bimbingan. Pihak sekolah melakukan evaluasi bahwa kedua
anak tersebut harus mendapatkan perhatian penuh dari kedua orang tuanya. Dan
pihak sekolah selalu memberikan informasi kepada orang tua masing-masing
terkait ada atau tidaknya perkembangan hasil belajar keda murid tersebut.
B.3. Layanan Yang Telah Diberikan
Dalam memberikan
pemahaman demi kelancaran dan keberhasilan murid di SD Muhammadiyah
Waringinsari, pihak sekolah telah memberikan beberapa layanan, yaitu :
1. Layanan Orientasi
Layanan orientasi
ini diberikan pada saat permulaan awal masuk sekolah. Isinya tentang apa saja
yang akan dipelajari selama kelas V dan khususnya pelajaran semester ganjil.
2. Layanan Informasi
Layanan informasi
ini diberikan untukm membekali siswa dengan berbagai pengetahuan dan pemahaman
tentang berbagai hal yang berguna bagi individu murid sebagai penunjang
pembelajarannya di sekolah. Seperti menyampaikan aga murid menyiapkan buku
tulis tiap bidang studi, jadwal belajar, dan lain-lain
3. Layanan Penempatan Penyaluran
Layanan ini telah dilakukan dengan menempatkan posisi tempat belajar yang
sesuai.
4. Layanan Pembelajaran
Layanan ini diberikan agar murid mampu melaksanakan kegiatan belajar
dengan baik dan seoptimal mungkin, baik di sekolah maupun di rumah.
5. Layanan Bimbingan Kelompok
Wali kelas V sewaktu-waktu memberikan layanan bimbingan kelompok pada
muridnya. Hal ini bertujuan agar murid-murid memahami betapa pentingnya
kerjasama dalam hal sosial. Membuat jadwal piket, dan struktur kelas.
6. Bimbingan Pribadi
Bimbingan pribadi ini dilakukan pihak sekolah kepada murid yang
menagalami kesulitan belajar. Hal ini dilakukan pada siswa seperti BZ dan AS.
Bimbingan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman dan pemberian pengertian
tentang masalah yang dihadapinya dan saran-saran untuk penyelesaian masalah
belajarnya.
B.4. Layanan Belum Diberikan
Adapun layanan yang belum diberikan adalah layanan konseling kelompok.
Hal ini disebabkan karena penyelesaian masalah, pihak sekolah lebih cendrung
dengan cara konseling individu. Apalagi di kelas V sendiri yang menagalami
kesulitan belajar terjadi hanya ke beberapa murid saja.
B.5. Hasil
Setelah melakukan tahapan untuk menyimpulkan masalah kesulitan belajar
pada BZ dan AS, penulis menyarankan kepada wali kelas V (lima) agar memberikan layanan kepada dua
murid tersebut.
1. BZ
Untuk mengatasi siswa underachiever (BZ), model trifokal yang diajukan
Rimm adalah salah satu pendekatan yang paling komprehensif untuk mengatasi
siswa yang underachiever. Model ini melibatkan individu sendiri, lingkungan
rumah dan sekolah. Masing-masing pihak yang terlibat tersebut diikutsertakan
dalam program trifokal ini, sehingga setiap orang yang diperkirakan
berkontribusi terhadap masalah underachiever dapat menyelesaikan masalah anak
dengan lebih komprehensif. Agar dapat mengatasi siswa underachiever dengan
tepat, maka diperlukan intervensi yang berbeda pada setiap kasus karena menurut
Hansford underachievement sangat spesifik pada individu masing-masing.
Underachievement adalah pola perilaku yang dipelajari dan tentunya dapat juga diubah dan untuk meningkatkan prestasi anak underachiever dapat dilakukan dengan membangun self-esteem, meningkatkan konsep diri, meningkatkan motivasi intrinsik dan ekstrinsik, mengajari cara belajar (study skills), manajemen waktu dan mengatasi kekurangannya dalam hal akademik.
2. AS
Sepeti yang sudah penulis sampaikan di atas. Bahwa kesulitan belajar As
tergolong pada Solw Learner (lambat dalam belajar). Untuk itu cara yang tepat
untuk menagani kesulitan belajar ini adalah :
a. Pengulangan
AS ini susah dalam menagkap pelajaran dan lambat proses mentransfer
ilmunya. Untuk itu sosuli tepatnya adalah agar guru memberikan waktu khusus
pada AS untuk melakukan pengulangan pelajaran dengan tepat.
b. Harus ada Bimbingan Khusus
Slow learner, yang dihadapi AS ini, harus dibimbing oleh satu orang guru
tertentu. Artinya da harus dibimbing satu orang guru khusus. Pelajaran dalam
satu kelas yang diampu satu orang guru seperti di sekolah umum jelas tidak bisa
diterapkan pada para siswa berkebutuhan khusus seperti AS. Untuk itu kalau wali
sekolah tidak sanggup, bisa mencarikan guru pembimbing khusus di rumah (les
privat) yang tujuannya agar AS dapat diajari dengan perhatian penuh dari satu
orang guru pembimbing.
C. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang penulis buat. Dapat disimpulkan bahwa
murid di kelas V SD Muhammadiyah Waringinsari Kecamatan Sukoharjo yang memiliki
kesulitan belajar adalah BZ dan AS. Dan cara menyelesaikan atau penanganan yang
tepat terhadap kesulitan belajar tersebut adalah :
1. BZ diberikan layanan model trifokal adalah salah satu pendekatan yang paling komprehensif untuk mengatasi siswa yang underachiever. Model ini melibatkan individu sendiri, lingkungan rumah dan sekolah. Masing-masing pihak yang terlibat tersebut diikutsertakan dalam program trifokal ini, sehingga setiap orang yang diperkirakan berkontribusi terhadap masalah underachiever dapat menyelesaikan masalah anak dengan lebih komprehensif.
2. AS yang memiliki masalah kesulitan belajar slow learner diberikan terapi pengulangan dan bimbingan belajar khusus di rumah (di luar jam sekolah).
D. Saran
Pada kesempatan ini, penulis akan menyampaikan beberapa saran :
1. Kepada Sekolah
Secara umum penulis melihat bahwa tidak ada kesulitan belajar luar biasa
pada murid, namun beberapa individu mempunyai beberapa masalah dalam
belajarnya. Untuk itu kami menyarankan agar SD Muhammadiyah Waringinsari
Kecamatan Sukoharjo, agar memiliki seorang guru pembimbing khusus. Hal ini agar
bembingan belajar dapat difokuskan pada pembimbing tersebut.
2. Kepada Guru Kelas V
Kepada Guru Kelas V, diharapkan agar dapat memberikan tahapan
penyelesaian seperti yang kami gambarkan di atas. Tentunya hal itu akan
berjalan efektif dengan kerjasama dengan pihak orangtua murid.
3. Kepada Orangtua
Kepada kedua orang tua, baik orang tua BZ dan AS, agar dapat memberikan
perhatian penuh kepada anaknya. Luangkanlah waktu untuk mengevaluasi hasil belajarnya
di sekolah.
4. Kepada Murid
Untuk BZ agar meningkatkan kualitas belajarnya dengan saran dari guru dan
orangtua masing-masing.
Kasus
Bimbingan Konseling dan Penangannaya sesuai dengan
Teori Bimbingan
Konseling di Sekolah
(Tugas Bimbingan Konseling)
Oleh
:
BAHASA DAN
SASTRA INDONESIA
DAN DAERAH (NR)
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENGETAHUAN
UNIVERSITAS
LAMPUNG
2010/2011
Daftar Isi
Daftar Isi
BAB I. Pendahuluan ....................................................................................... 1
I.A.
Latar Belakang............................................................................... 1
I.B.
Batasan Masalah............................................................................. 2
I.C.
Rumusan Masalah .......................................................................... 2
I.D.
Tujuan ............................................................................................ 2
BAB II. Pembahasan
II.A. Teori Bimbingan Konseling ................................................. 3
II.B. Kasus Bimbingan dan Konseling dari Berbagai
Media............... 18
Daftar Pustaka
Aryatmi, S., 1991, Perspektif BK dan Penerapannya di Berbagai Institusi, Satya Wacana Semarang.
Corey G.,
1991/1995, Teori dan Praktek dari Konseling dan Psikoterapi (terjemahan
Mulyarto), IKIP Semarang Pres.
Prayitno, 1998,
Konseling Pancawashita, progdi BK PPB, FIP, IKIP Padang
Rosjidan, 1998,
Pengantar Teori-teori Konseling, Depdikbud Dirjen PT Proyek P2LPTK, Jakarta
Surya, M., 1988,
Dasar-Dasar Konseling Pendidikan, Kota Kembang, Yogyakarta.
Radar Lampung, Senin, 25 Oktober 2010.
Kata
Pengantar
Puji Syukur
penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang memberikan kesehatan serta rahmat
nya sehingga makalah ini dapat penulis selesaikan dengan waktu yang telah
ditentukan.
Makalah ini
ditujukan untuk memenuhi tugas sebagai syarat perbaikan nilai Bimbingan
Konseling. Terimakasih kepada dosen pengampu Ibu Ratna yang telah memberikan
bimbingan akademik demi menjadikan siswa yang bermanfaat dan berkualitas.
Setiap siswa sebenarnya mempunyai masalah dan sangat
variatif. Permasalahan yang dihadapi siswa dapat bersifat pribadi, sosial,
belajar, atau karier. Oleh karena keterbatasan kematangan siswa dalam mengenali
dan memahami hambatan dan permasalahan yang dihadapi siswa, maka konselor
sebagai pihak yang berkompeten perlu memberikan intervensi. Apabila siswa tidak
mendapatkan intervensi, siswa mendapatkan permasalahan yang cukup berat untuk
dipecahkan. Konselor sekolah senantiasa diharapkan untuk mengetahui keadaan dan
kondisi siswanya secara mendalam.
Penulis hanyalah
makhluk yang takluput dari kesalahan, penulis mengarapkan kritik serta saran
dari berbagai pembaca untuk dapat lebih maju dalam pengetahuan serta penugasan
yang akan dilakukan kedepan.
Hormat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar