Minggu, 27 Mei 2012

MAKNA DAN PERBEDAAN WAKTU LIMA SHALAT WAJIB



Setiap waktu shalat bukan hanya awal dari titik balik yang signifikan tetapi juga sebuah cerminan untuk rahmat Allah SWT atas kekuasaan-Nya dan untuk keluasan rahmat-Nya itu. Kita diperintahkan untuk melaksanakan shalat di waktu-waktu yang telah ditentukan ini sehingga dapat lebih memuja dan memuji kepada Zat Yang Maha Kuasa, dan lebih bersyukur kepada-Nya atas semua Rahmat yang telah banyak diberikan diantara dua waktu-waktu tersebut, yang sebenarnya merupakan arti dari ibadah yang sudah ditentukan itu. Untuk sedikit memahami arti yang masih umum dan dalam ini, ada lima poin yang perlu disadari.

Poin Pertama
Setiap shalat didirikan untuk memuji dan memuja kepada Allah SWT dan bersyukur kepada-Nya. Yaitu, memuja-Nya melalui pengucapan Subhana-Allah dalam perkataan dan perbuatan dengan kesadaraan akan Keagungan-Nya. Mengagungkan-Nya melalui pengucapan Allahu Akbar, dalam perkataan dan perbuatan dengan kesadaran akan Kesempurnaan-Nya, dan yang ketiga, melalui pengucapan al-hamdu-li-llah, oleh hati, lidah dan seluruh tubuh, untuk menyampaikan rasa terima kasih kepada-Nya dengan kesadaran akan Kemurahan-Nya. Dapat disimpulkan bahwa puja, puji dan syukur adalah inti dari shalat. Karena alasan inilah ketiga hal tersebut ada dalam setiap bagian sholat, dalam setiap kata-kata dan gerakannya. Lebih jauh, dalam setiap shalat, ketiga kalimat suci ini disebut berulang kali masing-masing sebanyak 33 kali, dalam rangka untuk menjelaskan dan melengkapi objektif dari sholat; makna shalat diucapkan secara berurutan dengan ucapan ringkas ini.

Poin Kedua
Makna dari ibadah adalah manusia, sebagai hamba Allah, menjadi sadar atas kesalahan, kelemahan dan ketidakberdayaannya dihadapan Allah, sujud dalam cinta dan kekaguman kepada Yang Maha Agung, Yang Maha Besar, Yang Maha Pengasih. Dengan kata lain, kekuasaan dari Yang Maha Agung menuntut kesetiaan dan ketaatan, begitu juga kesucian Zat-Nya membuat kita, makhluk ciptaan-Nya, untuk melihat kesalahan kita dan memohon ampunan-Nya; untuk menyatakan bahwa Zat-Nya bebas dari semua kesalahan, dari semua pendapat yang salah dari orang-orang yang tidak sadar dan dari semua kesalahan yang dilakukan makhluk-Nya.
Kesempurnaan Yang Maha Besar membuat hamba-Nya, dalam realisasi atas kelemahan dan ketidakberdayaannya dan semua makhluk lainnya, untuk menyatakan Allah Yang Maha Besar dalam kekaguman dan ketakjuban atas kebesaran karya dari satu-satunya Zat yang pantas disembah, dan, membungkukkan diri dengan penuh rasa hormat dalam kerendahan hati.
Dan nikmat yang tak terbatas dari Yang Maha Pengasih sepatutnya membuat hamba-Nya untuk menyatakan kebutuhannya sendiri dan kebutuhan mahluk lainnya dengan berdo’a dan memohon pertolongan-Nya, mengucapkan al-hamdu-lillah. Secara singkat, perkataan dan perbuatan dalam shalat memuat makna-makna tersebut, dan karena itu diperintahkan dan diatur oleh Allah.

Poin Ketiga
Manusia adalah miniatur alam semesta; begitu pula surat pertama dalam Al Qur’an, Al Fatiha, adalah miniatur ringkasan seluruh kitab tersebut; dan shalat adalah semacam indeks, yang memuat semua cara-cara peribadatan, dan merupakan suatu gambaran atas keanekaragaman ibadah semua spesies mahluk hidup.

Poin Keempat
Pergantian siang dan malam, tahun-tahun dan fase-fase kehidupan manusia di dunia adalah potongan waktu yang besar yang masing-masing bagiannya berfungsi seperti roda dan tuas pada sebuah jam yang terus bergerak menghitung detik, menit dan jam. Misalnya :
Waktu Fajar, yang ditentukan untuk shalat Subuh, sampai terbit matahari, mungkin dihubungkan dengan awal musim semi, atau waktu ketika sperma berada di dalam rahim yang kokoh, atau dengan hari pertama dari enam hari periode penciptaan langit dan bumi, dan itu mengingatkan kembali akan bagaimana Allah menempatkan Kekuasaan-Nya dan bertindak pada waktu dan kejadian seperti itu.
Waktu Zuhur, mungkin dihubungkan dengan penyempurnaan masa muda, atau pertengahan musim panas, atau periode penciptaan manusia dalam kehidupan di dunia. Ini menunjukan manifestasi kasih sayang Allah dan rahmat yang tak terkira pada peristiwa-peristiwa dan waktu-waktu itu.
Waktu Ashar, menyerupai musim gugur, dan masa tua, dan waktu bagi Nabi Terakhir, dikenal sebagai waktu kebahagiaan. Mulai berfikir akan takdir Allah dan memohon pertolongan dari Yang maha Penyayang.
Waktu Maghrib, mengingatkan tentang hilangnya beberapa hewan pada akhir musim gugur, dan kematian manusia. Hal itu memperingatkan kita tentang kehancuran dunia pada awal Kebangkitan Kembali dan juga mengajarkan kita tentang bagaimana cara memahami manifestasi Keagungan Allah dan membangunkan kita dari tidur nyenyak pengabaian.
Waktu Isya, mengingatkan akan dunia yang gelap, yang menyelimuti semua benda di siang hari dengan selimut hitamnya dan musim dingin yang menutupi permukaan bumi yang mati dengan cerement putihnya. Juga mengingatkan bahwa pekerjaan yang belum selesai dari jasad yang mati akan dilupakan semuanya dan menjelaskan sesuatu kepada kita tentang kehancuran yang tak terhindarkan dari dunia, tempat segala cobaan.
Dan untuk Waktu malam hari, yang menunjukan musim dingin dan alam kubur dan dunia perantara (antara dunia dan akhirat), mengingatkan manusia akan betapa ruh-ruh membutuhkan pertolongan dari Yang Maha Pengasih.
Shalat Tahajjud di akhir dan malam yang sudah larut, mengingatkan betapa membutuhkannya kita akan cahaya shalat dalam kegelapan alam kubur. Dengan jalan ini, dengan memohon rahmat-Nya yang tiada terbatas yang dijanjikan kepada manusia dalam serangkaian kejadian-kejadian khusus seperti ini, manusia mengakui bahwa Zat-Nya patut dipuji dan disyukuri.
Pagi berikutnya adalah waktu yang diarahkan kepada pagi pada hari Kebangkitan. Adalah sangat beralasan, sudah seharusnya dan pasti bahwa pagi mengikuti malam, musim semi akan datang setelah musim dingin, jadi pagi pada Hari Kebangkitan atau musim semi yang mengikuti kehidupan perantara juga pasti akan datang.
Kini kita jadi mengerti bahwa setiap waktu yang ditentukan untuk shalat lima waktu sehari semalam adalah awal dari titik balik yang vital dan mengingatkan akan revolusi atau titik balik yang lebih besar dalam kehidupan alam semesta. Melalui perdagangan sehari-hari yang luar biasa dengan Kekuasaan Yang Maha Mengabulkan Permohonan, waktu-waktu shalat menyadarkan kita akan keajaiban Kekuasaan Allah dan hadiah ampunan Tuhan di setiap tahun, setiap abad dan setiap zaman. Jadi, shalat yang telah ditentukan, yang merupakan tugas yang kita bawa sejak lahir, dasar bagi semua ibadah yang lain dan kewajiban manusia yang tidak dapat dipertanyakan lagi, adalah paling sah dan paling cocok dilaksanakan pada waktu-waktu ini.

Poin Kelima
Manusia diciptakan dalam keadaan lemah, padahal segala sesuatunya melibatkan, mempengaruhi dan menyusahkan dirinya. Dia juga kekurangan kekuatan, padahal bencana dan musuh-musuh yang menyulitkan dirinya menjadi tak terhitung. Dirinya juga sangat miskin dan memiliki banyak kebutuhan. Tambahan, mereka juga malas dan tidak mampu, sedangkan mereka memiliki beban hidup yang sangat berat. Dengan menjadi manusia, dirinya terhubung dengan ciptaan lainnya di dunia, sedangkan kehilangan apa-apa yang dicintainya dan apa-apa yang dekat dengannya, berulangkali menyakitinya. Akhirnya, jiwa dan pikirannya mengarahkan dirinya kepada tujuan agung dan titik akhirnya; pencapaian keabadian, tetapi dirinya tidak mampu, tidak sabar dan tidak memiliki kekuatan, serta hanya memiliki waktu yang sangat singkat untuk itu.
Oleh karena itu, dapat dipahami secara jelas betapa pentingnya bagi setiap jiwa dalam keadaan seperti itu di waktu fajar untuk menyatakan suatu permohonan, melalui shalat dan doa kepada Allah Yang Maha Kuasa, Yang Maha Penyayang, untuk memohon keberhasilan dan bantuan dari Nya, dan betapa dibutuhkannya dukungan itu sehingga ia bisa sabar dan mampu menyingkirkan bahaya dan rintangan yang mungkin ditemui pada hari itu.
Zuhur adalah waktu dimana siang berada pada titik tertinggi dan mulai bergerak menyelesaikannya dan manusia berhenti dari pekerjaannya untuk beristirahat sejenak dari urusan-urusan mereka, dan juga waktu ketika jiwa membutuhkan perhentian sejenak dari kelalaian dan kelupaan yang disebabkan oleh bekerja keras, dan rahmat Allah yang besar sepenuhnya tercurahkan.
Dengan demikian, sulit untuk menganggap seseorang adalah manusia sejati jika ia tidak menyadari betapa baiknya, betapa pentingnya, betapa menyenangkannya dan bahwasanya sudah selayaknya manusia mendirikan shalat zuhur, sehingga dirinya, dalam pertolongan dari tekanan hidup sehari-hari dan dari kelalaian, berdiri dengan kerendahan hati dalam curahan rahmat, menunjukan perasaan syukur dan berdoa untuk memohon pertolongan-Nya. Ia membungkukkan dirinya untuk menunjukan ketidakberdayaannya dihadapan Yang Maha Besar, dan sujud untuk menyatakan kekaguman, cinta dan kerendahan hatinya dihadapan kasing sayang-Nya yang sempurna dan tiada banding di sepanjang masa.
Waktu ashar di sore hari menyerupai dan mengingatkan kita akan kesedihan musim gugur dan keadaan duka cita di masa tua, dan periode ketenangan di akhir waktu. Ini adalah waktu ketika tugas-tugas di hari itu perlahan-lahan mulai dilengkapi, dan rahmat Yang Maha Pemurah untuk hari itu, seperti kesehatan, keamanan dan amal soleh, telah dikumpulkan untuk dijumlahkan. Pada waktu ini kita juga menyaksikan tenggelamnya matahari yang membuktikan bahwa segala sesuatunya tiada yang abadi; hari ini sesuatu itu ada dan besok sudah tiada. Kemudian manusia yang merindukan keabadian, yang diciptakan untuk keabadian, dan yang menunjukan penghormatan untuk dianugrahkan kepada dirinya keabadian, kecuali bagi yang merasa sedih atas perpisahan, berdiri, mengambil air wudu, dan mendirikan shalat. Jadi, siapa saja yang termasuk manusia sejati, seharusnya ia memahami betapa terpujinya tugas ini, betapa khususnya ibadah ini, inilah cara yang masuk akal untuk membayar hutang budi, lebih jauh, betapa kesenangan yang tak dapat dipungkiri diperoleh dalam melaksanakan shalat ashar. Untuk mengajukan permohonan pada pengadilan Yang Maha Abadi dan Yang Maha Berdiri Sendiri dalam Keabadian, untuk menjadi budak yang lemah dalam pertolongan-Nya yang tiada terbatas, dan untuk bersyukur atas nikmat-Nya yang tak terhitung, dengan jalan membungkukkan diri dengan penuh rasa hormat dan rendah hati dihadapan Yang Maha Besar dan Maha Terpuji, dan dengan bersujud dengan kerendahan hati yang tulus di hadapan Yang Maha Abadi, dirinya memperoleh ketenangan hati dan menemukan penghibur sejati dan penenang jiwa.
Sore hari mengingatkan kita akan awal dari musim dingin dan perpisahan yang sedih dari makhluk-makhluk musim panas dan semi yang lemah; itu juga mengingatkan akan perpisahan yang menyakitkan dengan orang-orang yang dicintai karena kematian. Lagi-lagi hal itu membangkitkan gambaran tentang waktu ketika lentera matahari yang menyinari bumi, akan dipadamkan dan penduduk bumi berpindah ke dunia yang lain mengikuti keruntuhan yang dihasilkan oleh takdir gempa bumi. Itu juga merupakan suatu peringatan keras bagi siapa saja yang memuja kekasihnya yang tidak abadi dan sementara, yang setiap dari mereka suatu saat pasti akan mati.
Pada waktu shalat maghrib, jiwa manusia yang merindukan suatu keindahan abadi, menghadap kepada Zat Yang Abadi, Yang menciptakan dan membangun semua peristiwa dan fenomena ini, Yang memerintahkan suatu badan surgawi yang besar. Ini adalah waktu dimana jiwa manusia menolak untuk mengandalkan diri kepada sesuatu yang terbatas dan berteriak Allahu Akbar – yang berarti Allah Maha Besar. Kemudian, dalam kehadiran-Nya, mengucapkan alhamdu li-llah, segala puji hanya bagi Allah, manusia memuji-Nya dengan penuh kesadaran akan kesempurnaan tanpa celah, keindahan dan kelembutan tiada banding, dan ampunan yang tiada batas. Selanjutnya, dengan menyatakan hanya kepada Mu lah kami menyembah dan hanya kepada Mu lah kami mohon pertolongan (Al Fatiha, 1. 5), dirinya mempersembahkan ibadahnya dan mencari pertolongan dari Kekuasaan-Nya yang tidak memerlukan bantuan siapa pun, dari Ketuhanan-Nya yang tidak bersekutu, dari Kedaulatan-Nya yang tidak terbagi. Kemudian manusia membungkuk di hadapan Keagungan Yang Tak Terhingga, Kekuasaan Yang Tak Terbatas, dan di hadapan Kehormatan dan Kemuliaan yang sempurna, untuk menunjukkan, bersama dengan seluruh makhluk, kelemahan dan ketidakberdayaannya, kehinaan dan kemiskinannya, dan berkata Segala Puji Hanya Bagi Allah, Yang Maha Besar. Setelah itu, dirinya sujud dihadapan Zat-Nya dengan kesadaran akan Keindahan dan Kelembutan yang tak akan pernah mati, Sifat-Sifat-Nya yang suci yang tak berubah, dan Kesempurnaan-Nya yang selalu tetap abadi, manusia mengakui, dengan melepaskan ketergantungan kepada selain-Nya, cintanya dan pengabdiannya dalam Kekaguman dan keterhinaan dirinya, dia menemukan Yang Maha Abadi Keindahan-Nya, Yang Maha Penyayang yang Abadi, dengan mengatakan, Segala Puji Hanya Bagi Allah, Yang Maha Terpuji, dirinya menyatakan bahwa Tuhannya Yang Maha Terpuji bebas dari segala kekurangan dan kesalahan.
Setelah itu, manusia duduk dengan hormat dan meminta, dalam hitungannya, kepada Yang Maha Abadi, Yang Maha Kuasa dan Yang Maha Agung pujian dan kemulian semua makhluk, dan memohon kepada-Nya untuk menganugrahi kedamaian dan rahmat atas Rasul-Nya, baginya keselamatan dan rahmat. Dengan melakukan hal itu, dirinya memperbaharui kesetiannya kepada Rasulullah dan menyatakan kepatuhan kepada perintah-perintahnya, memperbaharui dan memperteguh keimanannya, dan dalam pengamatan akan keteraturan yang luar biasa di alam semesta, dirinya memberikan kesaksian atas Keesaan Sang Pencipta dan Kerasulan Muhammad, yang membewa berita kedaulatan Ketuhanan Tuhan, yang menyatakan apa-apa yang disenangi-Nya, dan yang menerjemahkan tanda-tanda atau ayat-ayat dari kitab alam semesta. Bagaimana mungkin seorang bisa menjadi manusia sejati jika tidak menyadari betapa merupakan tugas yang sangat menyenangkan shalat maghrib itu, betapa berharga dab betapa menyenangkannya beribadah, betapa baik dan indahnya bentuk ibadah ini, betapa seriusnya hal ini, dan betapa percakapan dengan Sang Pencipta dan kebahagiaan abadi hal itu di tempat persinggahan sementara ini ?
Waktu Isha adalah waktu bagi bekas-bekas jejak siang hari yang tertinggal di langit menghilang, dan malam menyelimuti bumi, menyisakan kita rahmat keagungan Tuhan sebagai Yang merubah malam dan siang, dan aktifitas ketuhanan dari Yang Maha Bijaksana sebagai Yang menundukkan Matahari dan Bulan, diamati ketika mengubah siang terang benderang dengan malam yang gelap gulita, dan ketika mengubah musim panas yang penuh warna dengan hamparan putih di musim dingin. Waktu ini juga mengingatkan akan perbuatan Tuhan sebagai Pencipta Kehidupan dan Kematian dalam alur perjalanan lengkap dari sisa-sisa tugas kematian dari dunia lain dalam bagian waktu. Ini adalah waktu yang mengingatkan tentang rahmat Tuhan dan manifestasi yang lembut dari Tuhan sebagai Pencipta Surga dan Dunia, setelah kehancuran total dari dunia yang sempit, mortal dan rendah ini oleh teriakan dan gemuruh yang sangat menakutkan dan ketika dibentangkan dunia akhir yang luas, abadi dan agung. Ini juga mengingatkan bahwa Yang Maha Esa, yang kuasa merubah siang menjadi malam, musim dingin menjadi musim panas, dan dunia ini menjadi dunia yang lain, yang pantas menjadi Pemilik dan Penguasa Sejati dari alam semesta adalah satu-satunya Zat yang pantas disembah dan dicintai.
Kemudian, pada malam hari, jiwa manusia yang sangat takberdaya dan lemah, sangat miskin dan bergantung, dan terombang ambing kesana kemari oleh berbagai macam keadaan dan masuk pusaran masa depan yang gelap dan tidak menentu, mendirikan shalat Isha. Dia melakukannya dengan maksud : seperti halnya Ibrahim As. manusia berkata: Saya tidak suka pada yang tenggelam (Al An Aam, 6:76) dan melalui shalatnya ia menghamba kepada Zat Yang Hidup Abadi, Yang pantas disembah, dan Yang Maha Penyayang. Dari kehidupan yang sekedar singgah di dunia yang gelap dan cepat dan masa depan yang gelap dirinya memohon kepada Zat Abadi Yang Maha Penyabar dan demi waktu sesaat untuk percakapan yang tiada berujung dan beberapa detik kehidupan abadi, dia memohon rahmat dari Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang dan cahaya tuntunan-Nya, yang akan memberikan cahaya baginya di dunia dan menerangi masa depannya dan mengikat penderitaannya akibat penolakan dari temannya dan makhluk lain.
Singkatnya, manusia lupa kepada dunia yang telah meninggalkannya dan menyirami kesengsaraan hatinya dengan air mata di hadapan Yang Maha Pengampun. Sebelum dirinya tidur, yang menyerupai kematian, dan karena segala sesuatu mungkin terjadi, dia mempersembahkan tugas ibadah terakhirnya untuk hari itu. Untuk menutup rekaman kegiatan hariannya yang menyenangkan, dia bangun untuk berdoa. Dia bangkit untuk menyambut kehadiran Yang Tercinta dan Yang Disembah daripada segala yang tidak abadi yang telah dicintainya di sepanjang hari, kehadiran Yang Maha Kuasa dan Yang Maha Pemurah daripada makhluk yang tidak berdaya yang dari mereka dia mengemis setiap hari, kehadiran Pelindung Yang Maha Penyayang dalam harapan untuk diamankan dari kejahatan makhluk yang berbahaya yang telah membuatnya gemetar sepanjang hari.
Dia mulai dengan Al Fatiha, Surah Pembuka Al Quran, daripada memuji dan berhutang kepada makhluk yang lemah dan berkebutuhan, yang berbuat dosa, dirinya memanjatkan doa kepada Penguasa dunia, Maha Sempurna dan Maha Mencukupi DiriNya sendiri, Maha Penyayang dan Maha Pemurah. Kemudian dia melanjutkan dengan menyatakan: hanya kepadaMu lah kami menyembah.




 Cari Di Situs ini

 Kategori








Tentang FUKI | Kontak Kami | Message Board | Guestbook | Milis








MAKNA ISRA' dan MI'RAJ


Makna Isra' dan Mi'raj

Perjalanan Nabi Muhammad saw. dari Makkah ke Bayt Al-Maqdis, kemudian naik ke Sidrat Al-Muntaha, bahkan melampauinya, serta kembalinya ke Makkah dalam waktu sangat singkat, merupakan tantangan terbesar sesudah Al-Quran disodorkan oleh Tuhan kepada umat manusia. Peristiwa ini membuktikan bahwa 'ilm dan qudrat Tuhan meliputi dan menjangkau, bahkan mengatasi, segala yang finite (terbatas) dan infinite (tak terbatas) tanpa terbatas waktu atau ruang.
Kaum empirisis dan rasionalis, yang melepaskan diri dari bimbingan wahyu, dapat saja menggugat: Bagaimana mungkin kecepatan, yang bahkan melebihi kecepatan cahaya, kecepatan yang merupakan batas kecepatan tertinggi dalam continuum empat dimensi ini, dapat terjadi? Bagaimana mungkin lingkungan material yang dilalui oleh Muhammad saw. tidak mengakibatkan gesekan-gesekan panas yang merusak tubuh beliau sendiri? Bagaimana mungkin beliau dapat melepaskan diri dari daya tarik bumi? Ini tidak mungkin terjadi, karena ia tidak sesuai dengan hukum-hukum alam, tidak dapat dijangkau oleh pancaindera, bahkan tidak dapat dibuktikan oleh patokan-patokan logika. Demikian kira-kira kilah mereka yang menolak peristiwa ini.
Memang, pendekatan yang paling tepat untuk memahaminya adalah pendekatan imaniy. Inilah yang ditempuh oleh Abu Bakar AlShiddiq, seperti tergambar dalam ucapannya: "Apabila Muhammad yang memberitakannya, pasti benarlah adanya." Oleh sebab itu, uraian ini berusaha untuk memahami peristiwa tersebut melalui apa yang kita percayai kebenarannya berdasarkan bukti-bukti ilmiah yang dikemukakan oleh Al-Quran.
Salah satu hal yang menjadi pusat pembahasan Al-Quran adalah masa depan ruhani manusia demi mewujudkan keutuhannya. Uraian Al-Quran tentang Isra' dan Mi'raj merupakan salah satu cara pembuatan skema ruhani tersebut. Hal ini terbukti jelas melalui pengamatan terhadap sistematika dan kandungan Al-Quran, baik dalam bagian-bagiannya yang terbesar maupun dalam ayat-ayatnya yang terinci.
Tujuh bagian pertama Al-Quran membahas pertumbuhan jiwa manusia sebagai pribadi-pribadi yang secara kolektif membentuk umat.
Dalam bagian kedelapan sampai keempat belas, Al-Quran menekankan pembangunan manusia seutuhnya serta pembangunan masyarakat dan konsolidasinya. Tema bagian kelima belas mencapai klimaksnya dan tergambar pada pribadi yang telah mencapai tingkat tertinggi dari manusia seutuhnya, yakni al-insan al-kamil. Dan karena itu, peristiwa Isra' dan Mi'raj merupakan awal bagian ini, dan berkelanjutan hingga bagian kedua puluh satu, di mana kisah para rasul diuraikan dari sisi pandangan tersebut. Kemudian, masalah perkembangan ruhani manusia secara orang per orang diuraikan lebih lanjut sampai bagian ketiga puluh, dengan penjelasan tentang hubungan perkembangan tersebut dengan kehidupan masyarakat secara timbal-balik.
Kemudian, kalau kita melihat cakupan lebih kecil, maka ilmuwan-ilmuwan Al-Quran, sebagaimana ilmuwan-ilmuwan pelbagai disiplin ilmu, menyatakan bahwa segala sesuatu memiliki pendahuluan yang mengantar atau menyebabkannya. Imam Al-Suyuthi berpendapat bahwa pengantar satu uraian dalam Al-Quran adalah uraian yang terdapat dalam surat sebelumnya.204 Sedangkan inti uraian satu surat dipahami dari nama surat tersebut, seperti dikatakan oleh Al-Biqai'i.205 Dengan demikian, maka pengantar uraian peristiwa Isra' adalah surat yang dinamai Tuhan dengan sebutan Al-Nahl, yang berarti lebah.
Mengapa lebah? Karena makhluk ini memiliki banyak keajaiban. Keajaibannya itu bukan hanya terlihat pada jenisnya, yang jantan dan betina, tetapi juga jenis yang bukan jantan dan bukan betina. Keajaibannya juga tidak hanya terlihat pada sarang-sarangnya yang tersusun dalam bentuk lubang-lubang yang sama bersegi enam dan diselubungi oleh selaput yang sangat halus menghalangi udara atau bakteri menyusup ke dalamnya, juga tidak hanya terletak pada khasiat madu yang dihasilkannya, yang menjadi makanan dan obat bagi sekian banyak penyakit. Keajaiban lebah mencakup itu semua, dan mencakup pula sistem kehidupannya yang penuh disiplin dan dedikasi di bawah pimpinan seekor "ratu". Lebah yang berstatus ratu ini pun memiliki keajaiban dan keistimewaan. Misalnya, bahwa sang ratu ini, karena rasa "malu" yang dimiliki dan dipeliharanya, telah menjadikannya enggan untuk mengadakan hubungan seksual dengan salah satu anggota masyarakatnya yang jumlahnya dapat mencapai sekitar tiga puluh ribu ekor. Di samping itu, keajaiban lebah juga tampak pada bentuk bahasa dan cara mereka berkomunikasi, yang dalam hal ini telah dipelajari secara mendalam oleh seorang ilmuwan Austria, Karl Van Fritch.
Lebah dipilih Tuhan untuk menggambarkan keajaiban ciptaan-Nya agar menjadi pengantar keajaiban perbuatan-Nya dalam peristiwa Isra' dan Mi'raj. Lebah juga dipilih sebagai pengantar bagi bagian yang menjelaskan manusia seutuhnya. Karena manusia seutuhnya, manusia mukmin, menurut Rasul, adalah "bagaikan lebah, tidak makan kecuali yang baik dan indah, seperti kembang yang semerbak; tidak menghasilkan sesuatu kecuali yang baik dan berguna, seperti madu yang dihasilkan lebah itu."
Dalam cakupan yang lebih kecil lagi, kita melontarkan pandangan kepada ayat pertama surat pengantar tersebut. Di sini Allah berfirman: Telah datang ketetapan Allah (Hari Kiamat). Oleh sebab itu janganlah kamu meminta agar disegerakan datangnya.
Dunia belum kiamat, mengapa Allah mengatakan kiamat telah datang? Al-Quran menyatakan "telah datang ketetapan Allah," mengapa dinyatakan-Nya juga "jangan meminta agar disegerakan datangnya"? Ini untuk memberi isyarat sekaligus pengantar bahwa Tuhan tidak mengenal waktu untuk mewujudkan sesuatu. Hari ini, esok, juga kemarin, adalah perhitungan manusia, perhitungan makhluk. Tuhan sama sekali tidak terikat kepadanya, sebab adalah Dia yang menguasai masa. Karenanya Dia tidak membutuhkan batasan untuk mewujudkan sesuatu. Dan hal ini ditegaskan-Nya dalam surat pengantar ini dengan kalimat: Maka perkataan Kami kepada sesuatu, apabila Kami menghendakinya, Kami hanya menyatakan kepadanya "kun" (jadilah), maka jadilah ia (QS 16:40).
Di sini terdapat dua hal yang perlu digarisbawahi. Pertama, kenyataan ilmiah menunjukkan bahwa setiap sistem gerak mempunyai perhitungan waktu yang berbeda dengan sistem gerak yang lain. Benda padat membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan suara. Suara pun membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan dengan cahaya. Hal ini mengantarkan para ilmuwan, filosof, dan agamawan untuk berkesimpulan bahwa, pada akhirnya, ada sesuatu yang tidak membutuhkan waktu untuk mencapai sasaran apa pun yang dikehendaki-Nya. Sesuatu itulah yang kita namakan Allah SWT, Tuhan Yang Mahaesa.
Kedua, segala sesuatu, menurut ilmuwan, juga menurut Al-Quran, mempunyai sebab-sebab. Tetapi, apakah sebab-sebab tersebut yang mewujudkan sesuatu itu? Menurut ilmuwan, tidak. Demikian juga menurut Al-Quran. Apa yang diketahui oleh ilmuwan secara pasti hanyalah sebab yang mendahului atau berbarengan dengan terjadinya sesuatu. Bila dinyatakan bahwa sebab itulah yang mewujudkan dan menciptakan sesuatu, muncul sederet keberatan ilmiah dan filosofis.
Bahwa sebab mendahului sesuatu, itu benar. Namun kedahuluan ini tidaklah dapat dijadikan dasar bahwa ialah yang mewujudkannya. "Cahaya yang terlihat sebelum terdengar suatu dentuman meriam bukanlah penyebab suara tersebut dan bukan pula penyebab telontarnya peluru," kata David Hume. "Ayam yang selalu berkokok sebelum terbit fajar bukanlah penyebab terbitnya fajar," kata Al-Ghazali jauh sebelum David Hume lahir. "Bergeraknya sesuatu dari A ke B, kemudian dari B ke C, dan dari C ke D, tidaklah dapat dijadikan dasar untuk menyatakan bahwa pergerakannya dari B ke C adalah akibat pergerakannya dari A ke B," demikian kata Isaac Newton, sang penemu gaya gravitasi.
Kalau demikian, apa yang dinamakan hukum-hukum alam tiada lain kecuali "a summary o f statistical averages" (ikhtisar dari rerata statistik). Sehingga, sebagaimana dinyatakan oleh Pierce, ahli ilmu alam, apa yang kita namakan "kebetulan" dewasa ini, adalah mungkin merupakan suatu proses terjadinya suatu kebiasaan atau hukum alam. Bahkan Einstein, lebih tegas lagi, menyatakan bahwa semua apa yang terjadi diwujudkan oleh "superior reasoning power" (kekuatan nalar yang superior). Atau, menurut bahasa Al-Quran, "Al-'Aziz Al-'Alim", Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui. Inilah yang ditegaskan oleh Tuhan dalam surat pengantar peristiwa Isra' dan Mi'raj itu dengan firman-Nya: Kepada Allah saja tunduk segala apa yang di langit dan di bumi, termasuk binatang-binatang melata, juga malaikat, sedangkan mereka tidak menyombongkan diri. Mereka takut kepada Tuhan mereka yang berkuasa atas mereka dan mereka melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka) (QS 16:49-50).
Pengantar berikutnya yang Tuhan berikan adalah: Janganlah meminta untuk tergesa-gesa. Sayangnya, manusia bertabiat tergesa-gesa, seperti ditegaskan Tuhan ketika menceritakan peristiwa Isra' ini, Adalah manusia bertabiat tergesa-gesa (QS 17:11). Ketergesa-gesaan inilah yang antara lain menjadikannya tidak dapat membedakan antara: (a) yang mustahil menurut akal dengan yang mustahil menurut kebiasaan, (b) yang bertentangan dengan akal dengan yang tidak atau belum dimengerti oleh akal, dan (c) yang rasional dan irasional dengan yang suprarasional.
Dari segi lain, dalam kumpulan ayat-ayat yang mengantarkan uraian Al-Quran tentang peristiwa Isra' dan Mi'raj ini, dalam surat Isra' sendiri, berulang kali ditegaskan tentang keterbatasan pengetahuan manusia serta sikap yang harus diambilnya menyangkut keterbatasan tersebut. Simaklah ayat-ayat berikut: Dia (Allah) menciptakan apa-apa (makhluk) yang kamu tidak mengetahuinya (QS 16:8); Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui (QS 16:74); dan Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan kecuali sedikit (QS 17:85); dan banyak lagi lainnya. Itulah sebabnya, ditegaskan oleh Allah dengan firman-Nya: Dan janganlah kamu mengambil satu sikap (baik berupa ucapan maupun tindakan) yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentang hal tersebut; karena sesungguhnya pendengaran, mata, dan hati, kesemuanya itu kelak akan dimintai pertanggungjawaban (QS 17:36).
Apa yang ditegaskan oleh Al-Quran tentang keterbatasan pengetahuan manusia ini diakui oleh para ilmuwan pada abad ke-20. Schwart, seorang pakar matematika kenamaan Prancis, menyatakan: "Fisika abad ke-19 berbangga diri dengan kemampuannya menghakimi segenap problem kehidupan, bahkan sampai kepada sajak pun. Sedangkan fisika abad ke-20 ini yakin benar bahwa ia tidak sepenuhnya tahu segalanya, walaupun yang disebut materi sekalipun." Sementara itu, teori Black Holes menyatakan bahwa "pengetahuan manusia tentang alam hanyalah mencapai 3% saja, sedang 97% selebihnya di luar kemampuan manusia."
Kalau demikian, seandainya, sekali lagi seandainya, pengetahuan seseorang belum atau tidak sampai pada pemahaman secara ilmiah atas peristiwa Isra' dan Mi'raj ini; kalau betul demikian adanya dan sampai saat ini masih juga demikian, maka tentunya usaha atau tuntutan untuk membuktikannya secara "ilmiah" menjadi tidak ilmiah lagi. Ini tampak semakin jelas jika diingat bahwa asas filosofis dari ilmu pengetahuan adalah trial and error, yakni observasi dan eksperimentasi terhadap fenomena-fenomena alam yang berlaku di setiap tempat dan waktu, oleh siapa saja. Padahal, peristiwa Isra' dan Mi'raj hanya terjadi sekali saja. Artinya, terhadapnya tidak dapat dicoba, diamati dan dilakukan eksperimentasi.
Itulah sebabnya mengapa Kierkegaard, tokoh eksistensialisme, menyatakan: "Seseorang harus percaya bukan karena ia tahu, tetapi karena ia tidak tahu." Dan itu pula sebabnya, mengapa Immanuel Kant berkata: "Saya terpaksa menghentikan penyelidikan ilmiah demi menyediakan waktu bagi hatiku untuk percaya." Dan itu pulalah sebabnya mengapa "oleh-oleh" yang dibawa Rasul dari perjalanan Isra' dan Mi'raj ini adalah kewajiban shalat; sebab shalat merupakan sarana terpenting guna menyucikan jiwa dan memelihara ruhani.
Kita percaya kepada Isra' dan Mi'raj, karena tiada perbedaan antara peristiwa yang terjadi sekali dan peristiwa yang terjadi berulang kali selama semua itu diciptakan serta berada di bawah kekuasaan dan pengaturan Tuhan Yang Mahaesa.
Sebelum Al-Quran mengakhiri pengantarnya tentang peristiwa ini, dan sebelum diungkapnya peristiwa ini, digambarkannya bagaimana kelak orang-orang yang tidak mempercayainya dan bagaimana pula sikap yang harus diambilnya. Allah berfirman: Bersabarlah wahai Muhammad; tiadalah kesabaranmu melainkan dengan pertolongan Allah. Janganlah kamu bersedih hati terhadap (keingkaran) mereka. Jangan pula kamu bersempit dada terhadap apa-apa yang mereka tipudayakan. Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang orang yang berbuat kebajikan. (QS 16:127-128). Inilah pengantar Al-Quran yang disampaikan sebelum diceritakannya peristiwa Isra' dan Mi'raj.
Agaknya, yang lebih wajar untuk dipertanyakan bukannya bagaimana Isra' dan Mi 'raj terjadi, tetapi mengapa Isra' dan Mi 'raj.
Seperti yang telah dikemukakan pada awal uraian, Al-Quran, pada bagian kedelapan sampai bagian kelima belas, menguraikan dan menekankan pentingnya pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan masyarakat beserta konsolidasinya. Ini mencapai klimaksnya pada bagian kelima belas atau surat ketujuh belas, yang tergambar pada pribadi hamba Allah yang di-isra'-kan ini, yaitu Muhammad saw., serta nilai-nilai yang diterapkannya dalam masyarakat beliau. Karena itu, dalam kelompok ayat yang menceritakan peristiwa ini (dalam surat Al-Isra'), ditemukan sekian banyak petunjuk untuk membina diri dan membangun masyarakat.
Pertama, ditemukan petunjuk untuk melaksanakan shalat lima waktu (pada ayat 78). Dan shalat ini pulalah yang merupakan inti dari peristiwa Isra' dan Mi'raj ini, karena shalat pada hakikatnya merupakan kebutuhan mutlak untuk mewujudkan manusia seutuhnya, kebutuhan akal pikiran dan jiwa manusia, sebagaimana ia merupakan kebutuhan untuk mewujudkan masyarakat yang diharapkan oleh manusia seutuhnya. Shalat dibutuhkan oleh pikiran dan akal manusia, karena ia merupakan pengejawantahan dari hubungannya dengan Tuhan, hubungan yang menggambarkan pengetahuannya tentang tata kerja alam raya ini, yang berjalan di bawah satu kesatuan sistem. Shalat juga menggambarkan tata inteligensia semesta yang total, yang sepenuhnya diawasi dan dikendalikan oleh suatu kekuatan Yang Mahadahsyat dan Maha Mengetahui, Tuhan Yang Mahaesa. Dan bila demikian, maka tidaklah keliru bila dikatakan bahwa semakin mendalam pengetahuan seseorang tentang tata kerja alam raya ini, akan semakin tekun dan khusyuk pula ia melaksanakan shalatnya.
Shalat juga merupakan kebutuhan jiwa. Karena, tidak seorang pun dalam perjalanan hidupnya yang tidak pernah mengharap atau merasa cemas. Hingga, pada akhirnya, sadar atau tidak, ia menyampaikan harapan dan keluhannya kepada Dia Yang Mahakuasa. Dan tentunya merupakan tanda kebejatan akhlak dan kerendahan moral, apabila seseorang datang menghadapkan dirinya kepada Tuhan hanya pada saat dirinya didesak oleh kebutuhannya.
Shalat juga dibutuhkan oleh masyarakat manusia, karena shalat, dalam pengertiannya yang luas, merupakan dasar-dasar pembangunan. Orang Romawi Kuno mencapai puncak keahlian dalam bidang arsitektur, yang hingga kini tetap mengagumkan para ahli, juga karena adanya dorongan tersebut. Karena itu, Alexis Carrel menyatakan: "Apabila pengabdian, shalat, dan doa yang tulus kepada Sang Maha Pencipta disingkirkan dari tengah kehidupan bermasyarakat, maka hal itu berarti kita telah menandatangani kontrak bagi kehancuran masyarakat tersebut." Dan, untuk diingat, Alexis Carrel bukanlah seorang yang memiliki latar belakang pendidikan agama. Ia adalah seorang dokter yang telah dua kali menerima hadiah Nobel atas hasil penelitiannya terhadap jantung burung gereja serta pencangkokannya. Dan, menurut Larouse Dictionary, Alexis Carrel dinyatakan sebagai satu pribadi yang pemikiran-pemikirannya secara mendasar akan berpengaruh pada penghujung abad XX ini.
Apa yang dinyatakan ilmuwan ini sejalan dengan penegasan Al-Quran yang ditemukan dalam pengantar uraiannya tentang peristiwa Isra' dalam surat Al-Nahl ayat 26. Di situ digambarkan pembangkangan satu kelompok masyarakat terhadap petunjuk Tuhan dan nasib mereka menurut ayat tersebut: Allah menghancurkan bangunan-bangunan mereka dari fondasinya, lalu atap bangunan itu menimpa mereka dari atas; dan datanglah siksaan kepada mereka dari arah yang mereka tidak duga (QS 16:26).
Kedua, petunjuk-petunjuk lain yang ditemukan dalam rangkaian ayat-ayat yang menjelaskan peristiwa Isra' dan Mi'raj, dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat adil dan makmur, antara lain adalah: Jika kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mereka menaati Allah untuk hidup dalam kesederhanaan), tetapi mereka durhaka; maka sudah sepantasnyalah berlaku terhadap mereka ketetapan Kami dan Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya (QS 17:16).
Ditekankan dalam surat ini bahwa "Sesungguhnya orang yang hidup berlebihan adalah saudara-saudara setan" (QS 17:27).
Dan karenanya, hendaklah setiap orang hidup dalam kesederhanaan dan keseimbangan: Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu (pada lehermu dan sebaliknya), jangan pula kamu terlalu mengulurkannya, agar kamu tidak menjadi tercela dan menyesal (QS 17:29).
Bahkan, kesederhanaan yang dituntut bukan hanya dalam bidang ekonomi saja, tetapi juga dalam bidang ibadah. Kesederhanaan dalam ibadah shalat misalnya, tidak hanya tergambar dari adanya pengurangan jumlah shalat dari lima puluh menjadi lima kali sehari, tetapi juga tergambar dalam petunjuk yang ditemukan di surat Al-Isra' ini juga, yakni yang berkenaan dengan suara ketika dilaksanakan shalat: Janganlah engkau mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan jangan pula merendahkannya, tetapi carilah jalan tengah di antara keduanya (QS 17: 110).
Jalan tengah di antara keduanya ini berguna untuk dapat mencapai konsentrasi, pemahaman bacaan dan kekhusyukan. Di saat yang sama, shalat yang dilaksanakan dengan "jalan tengah" itu tidak mengakibatkan gangguan atau mengundang gangguan, baik gangguan tersebut kepada saudara sesama Muslim atau non-Muslim, yang mungkin sedang belajar, berzikir, atau mungkin sedang sakit, ataupun bayi-bayi yang sedang tidur nyenyak. Mengapa demikian? Karena, dalam kandungan ayat yang menceritakan peristiwa ini, Tuhan menekankan pentingnya persatuan masyarakat seluruhnya. Dengan demikian, masing-masing orang dapat melaksanakan tugas sebaik-baiknya, sesuai dengan kemampuan dan bidangnya, tanpa mempersoalkan agama, keyakinan, dan keimanan orang lain. Ini sesuai dengan firman Allah:
Katakanlah wahai Muhammad, "Hendaklah tiap-tiap orang berkarya menurut bidang dan kemampuannya masing-masing." Tuhan lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya (QS 17:84).
Akhirnya, sebelum uraian ini disudahi, ada baiknya dibacakan ayat terakhir dalam surat yang menceritakan peristiwa Isra' dan Mi'raj ini: Katakanlah wahai Muhammad: "Percayalah kamu atau tidak usah percaya (keduanya sama bagi Tuhan)." Tetapi sesungguhnya mereka yang diberi pengetahuan sebelumnya, apabila disampaikan kepada mereka, maka mereka menyungkur atas muka mereka, sambil bersujud (QS 17: 107).
Itulah sebagian kecil dari petunjuk dan kesan yang dapat kami pahami, masing-masing dari surat pengantar uraian peristiwa Isra ; yakni surat Al-Nahl, dan surat Al-Isra' sendiri. Khusus dalam pemahaman tentang peristiwa Isra' dan Mi'raj ini, semoga kita mampu menangkap gejala dan menyuarakan keyakinan tentang adanya ruh intelektualitas Yang Mahaagung, Tuhan Yang Mahaesa di alam semesta ini, serta mampu merumuskan kebutuhan umat manusia untuk memujaNya sekaligus mengabdi kepada-Nya.

Catatan kaki

204 Lihat bukunya, Asrar Tartib Al-Qur'an.
205 Lihat dalam pengantar untuk bukunya, Nazhm Al-Durar fi Tanasub Al-Ayat wa Al-Suwar.

Asal Perempuan



                       Bener gak sih perempuan itu di ciptakan dari tulang rusuk? Tau ah gelap..............

Mungkin pertanyaan saya di atas adalah pertanyaan yang sangat usang, naif dll, karena sebagian kalayak umum mengatakan di al quran maupun al hadis telah di jelaskan adanya penciptaan perempuan itu dari tulang rusuk. Eeett, tapi tunggu dulu, pertanyaaan yang pembaca harus merenungkan kembali adalah, benarkah kabar yang selama ini anda yakini itu benar adanya? Pernahkah anda mendalami dan memahami sendiri maksud dari quran atau hadis tersebut, tanpa mengikuti pendapat yang mungkin belum tentu kebenaranya? Apa lagi kita semua tau kalo manusia di ciptakan dari tanah entah perempuan atau laki laki. Baiklah kajian kita kali ini akan menguak tentang kejadian perempuan.
Ngaku atau yidak, selama ini kalayak umum tergiring dengan hadis nabi juga surat annisa’ ayat 1, sehingga mereka bersi kukuh mengatakan bahwa perempuan tercipta dari tulang rusuk, hadis tersebut adalah:
“berwasiatlah/nasihatilah kepada perempuan-perempuan kalian dengan kebaikan, sebab mereka diciptakan bersifat seperti tulang rusuk. Sesungguhnya tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas. Jika kalian memaksa/berkeras untuk meluruskannya, niscaya ia akan patah. Namun jika kalian biarkan, mereka akan senantiasa bengkok, maka berwasiatlah/nasihatilah dengan kebaikan kepada perempuan-perempuan.” (H.R. Bukhari&Muslim).
 QS. An Nisa’ (4) ayat 1 :
Hai sekalian manusia bertaqwalah kepada Maha Pengaturmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya menciptakan jodohnya dan dari pada keduanya memperkembang-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.
Pembaca mungkin akan menyalahkan saya karna tidak mau megakui tentang kebenaran Al qur’an juga al hadist, atau kurang begitu paham tentang maksud dari bukti bukti di atas. Baiklah, pembaca akan saya ajak untuk mencoba berpikir secara benar dan gak ikut oleh kabar kabar yang belum tentu akan kebenaranya. Are you ready? hehehe
Saya sependapat dengan Muhammad Rasyid Ridha, dalam Tafsir Al-Manar, menulis: "Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalam Kitab Perjanjian Lama (Kejadian II;21)  dengan redaksi yang mengarah kepada pemahaman di atas, niscaya pendapat yang keliru itu tidak pernah akan terlintas dalam benak seorang Muslim."
Hadist diatas, menurut hemat kami, kata tulang rusuk yang bengkok harus dipahami dalam pengertian majazi (kiasan), dalam arti bahwa hadis tersebut memperingatkan para lelaki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana. Karena ada sifat, karakter, dan kecenderungan mereka yang tidak sama dengan lelaki, hal mana bila tidak disadari akan dapat mengantar kaum lelaki untuk bersikap tidak wajar. Mereka tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat bawaan perempuan. Kalaupun mereka berusaha akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.
Perlu di catat, dongeng tentang tulang rusuk Nabi Adam itu secara turun-temurun dipercaya sebagai kebenaran hingga ke lingkungan Bangsa Arab, bahkan hingga zaman Nabi Muhammad. Suatu hari Nabi Muhammad berkata,
”Nasihatilah perempuan dengan cara yang baik. Perempuan itu diciptakan dari tulang rusuk, sementara yang paling bengkok itu bagian teratasnya. Jika engkau bersikeras meluruskannya, ia akan patah. Tetapi jika engkau membiarkannya, ia akan bengkok selamanya. Maka nasihatilah perempuan dengan cara yang baik.” (HR Bukhari, Muslim, Ibnu Abu Syaibah, dan Baihaqi)
Hadist itu –dan beberapa hadis sejenis—dijadikan landasan pembenar atas dongeng perempuan diciptakan dari tulang rusuk lelaki. Padahal Al Quran sama sekali tidak ada menyebut prihal tulang rusuk ini. Sangat mungkin para ulama terdahulu ”kebingungan” - he he - menafsirkan Surat Annisa’ ayat 1 yang sering diterjemahkan dengan tanda kurung-tanda kurung penafsiran. ”Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)nya …” Cobalah kita buang kata-kata dalam kurung itu dan menerjemahkan ayat itu apa adanya, maka kita akan mendapat terjemahan: ”Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kalian dari diri yang satu, dan menciptakan darinya pasangannya …”
Yang jadi soal adalah ”diri (jiwa) yang satu” (nafs wahidah). Para ulama terdahulu kontan menafsirkannya sebagai Adam.
Marilah kita pahami bersama sama dengan membaca sejarah lagi dan setiap kita mungkin tau, bahwa jauh sebelum Nabi Adam diutus sebagai khalifah Allah, dan sebelum Adam di nyatakan sebagai manusia (pertama) yang dianugerahi budaya dan ilmu pengetahuan, makhluk (sejenis) manusia telah ada. Mereka berburu, berbicara, dan hidup berkelompok. Para arkeolog berkesimpulan, sejak 20 ribu tahun lalu telah ada sosok makhluk yang memiliki kemampuan akal yang mendekati kemampuan berpikir manusia. Sedangkan kedatangan Adam yang konon berumur 930 tahun diperkirakan sekitar 3760-2830 SM. Makhluk (mirip) manusia itu terdiri dari lelaki dan perempuan. Jadi, lebih dari 15 ribu tahun sebelum Adam, telah ada makhluk (mirip) manusia yang terdiri dari laki dan perempuan. Mungkin saya perlu mengingtakan pembaca tentang hal ini, yang oleh al quran diterangkan dengan sangat jelas:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."QS. Al Baqarah 30.
Yang dalam kazanah islam makhluk sebelum adam yang menduduki bumi di namakan dengan sebutan bunul jan.
Hemat kami, dalil di atas semakin mempertegas bahwa perempuan itu bersifat seperti tulang rusuk, dan bukan berasal dari tulang rusuk.
Apabila kita mencoba memahami secara intensif hadist diatas, tidaklah ia dapat dijadikan alasan bahwa perempuan, terutama siti hawa, terjadi dari pada tulang rusuk nabi Adam. yang menjadi maksud hadist ini adalah membuat perumpamaan dari bengkok atau bengkoknya jiwa perempuan, sehingga sulit membentuknya, sama keadaannya dengan tulang rusuk, dan kaidah tulang rusuk adalah tidak bisa dipaksa-paksa, karena ia akan patah. Bila dibiarkan saja dan tidak sabar menghadapinya, ia akan semakin bengkok. Didalam hadist shahih bukhori Muslim yang lain juga diterangkan, nabi saw bersabda
"Perempuan itu adalah seperti tulang rusuk, jika engkau coba meluruskannya diapun patuh. Dan jika engkau bersuka-sukaan dengan dia, maka bersuka-suka juga engkau, namun dia tetap bengkok"
Pada hadits di atas sudah jelas bahwa itu hanya perumpamaan.
dari riwayat Imam Muslim, Nabi saw bersabda
"sesungguhnya perempuan itu dijadikan dari tulang rusuk, dia tidak akan dapat lurus untuk engkau atas suatu jalan. jika engkau mengambil kesenangan dengan dia, namun dia tetap bengkok, dan jika engkau coba meluruskannya, niscaya engkau mematahkannya. patahnya itu talaknya"
Hadis ini menurut kami juga mempertegas bahwa perempuan di ibaratkan tulang rusuk dalam arti hanya sebuah perumpamaan.Yang mempunyai pengertian lebih lanjut kalau laki-laki tidak mau berhati-hati membimbing istrinya dan bersikap keras terhadapnya maka talaklah yang terjadi dan ini yang di maksud dengan  kata  patah.
Jika anda seorang yang kritis dan tau tentang sejarah, pertanyaan yang sangat mungkin yang akan anda ajukan pada saya adalah, lantas bagaimana kita menyakapi sebuah riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, al Baihaqi dan Ibnu 'Asakir, yaitu perkataan dari Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud dan beberapa orang dari kalangan sahabat-sahabat Rasulullah saw, mereka berkata:
"Tatkala Adam telah berdiam didalam syurga itu, berjalanlah dia seorang diri dalam kesepian, tidak ada pasangan (istri) yang akan menentramkannya. Maka tidurlah dia, lalu dia bangun. Tiba -tiba disisi kepalanya seorang perempuan sedang duduk, yang telah dijadikan Allah daripada tulang rusuknya"

Riwayat itu sudah jelas bukanlah sabda Rasulullah Saw melainkan perkatan Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Mas'ud. Oleh karena riwayat ini adalah perkataan sahabat, maka nilainya untuk dipegang sebagai suatu dasar hukum tidak sama lagi dengan hadits yang shahih dari Nabi, apalah lagi dengan Al qur'an. Dan perlu di catat perkataan kedua shabat itu terpengaruh oleh berita berita orang yahudi ( baca: israiliiyat ) yang ada di Madinah saat itu.
Kami akan membuat perbandingan sebagai dasar penolakan kami tentang kabar yang sudah melekat di benak kalayak umum.
Faktor yang melatar belakangi kekeliruan dalam memahami hadis dan al quran di atas, menurut hemat kami setidak tidaknya ada 3 hal:

1. Terdikte oleh riwayat Israiliyyat
Asrailiiyat adalah cerita yang berasal dari orang yahudi nasrani, yang nabi pun tidak memberi penjelasan pasti tentang kebenaran atau kesalahan dari berita itu, Nabi Cuma mengatakan jangan kau percaya dan jangan pula kau mendustakanya.
2. Kegabah dalam memberi arti  Min من
Dalam kaidah bahasa arab, kata sandi min itu memberi arti banyak sekali, di antaranya dari, awal sesuatu perkara, sebagian, untuk menyatakan sebab, menyatakan jenis sesuatu perkara, menjelaskan perkara yang sebelumnya gak jelas ,berawal dari inilah bisa sedikit darik benang merah, bahwa pemakaian huruf ini dalam bahasa Arab adalah luas dan tidak semestinya terikat dengan satu makna saja.
Abu Muslim al-Asfahani mengatakan, maksud menciptakan dari padanya pasangannya ialah menciptakannya dari jenisnya. (lihat Hasyiah Zadah `Ala al-Baidhawi) Ini seperti ayat-ayat al-Quran berikut:

وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Dan di antara tanda-tanda yang membuktikan kekuasaannya dan rahmatNya, bahawa Dia menciptakan untuk kamu (wahai kaum lelaki), isteri-isteri dari jenis kamu sendiri, supaya kamu bersenang hati dan hidup mesra dengannya dan dijadikanNya di antara kamu (suami isteri) perasaan kasih sayang dan belas kasihan. Sesungguhnya yang demikian itu mengandungi keterangan-keterangan (yang menimbulkan kesedaran) bagi orang-orang yang berfikir. (Surah al-Rum: 21)


فَاطِرُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَمِنَ الْأَنْعَامِ أَزْوَاجًا يَذْرَؤُكُمْ فِيهِ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Dialah yang menciptakan langit dan bumi; Dia menjadikan bagi kamu pasangan-pasangan dari jenis kamu sendiri dan menjadikan dari jenis binatang-binatang ternak pasangan-pasangan (bagi bintang-binatang itu); dengan jalan yang demikian dikembangkanNya (zuriat keturunan) kamu semua. Tiada sesuatupun yang sebanding dengan (ZatNya, sifat-sifatNya dan pentadbiranNya) dan Dialah Yang Maha Mendengar, lagi Maha Melihat. (Surah al-Syura: 11)

وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ

Dan Allah telah menjadikan bagi kamu pasangan-pasangan dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagi kamu daripada pasangan-pasangan kamu anak-anak dan cucu dan memberikan rezki kepada kamu daripada benda-benda yang baik. (Surah al-Nahl: 72)
Ayat-ayat di atas hemat kami tidak boleh difahami sebagai isteri-isteri kita itu diciptakan dari jasad kita tetapi mestilah difahami sebagai “mereka itu dari jenis yang sama dengan kita”, dalam arti sama sama manusia.

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

Sesungguhnya telah datang kepada kamu seorang rasul dari jenis kamu, yang amat berat baginya kesusahan kamu, sangat berharap akan keimanan kamu dan sangat kasih serta menyayangi kepada orang-orang yang beriman. (Surah al-Taubah:128)

لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آَيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
Sesungguhnya Allah s.w.t. telah memberikan kurniaan yang besar kepada orang-orang yang beriman ketika Dia mengutuskan seorang rasul kepada mereka dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan Kitab dan Hikmah. Sesungguhnya mereka sebelum itu berada di dalam kesesatan yang nyata. (Surah Ali Imran: 164.)
Ayat di atas dengan jelasnya menyebutkan Rasulullah s.a.w. yang diutuskan kepada kita adalah dari kalangan manusia yang sama seperti kita bukan dari kalangan makhluk yang lain seperti malaikat.
3. Tidak mau mencari lagi hadist hadist mengenai hal hal yang berkaitan dengan perempuan.

عن أبي هريرة: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: المرأة كالضلع، إن أقمتها كسرتها.

Perempuan itu seperti tulang rusuk. Jika kamu ingin memperbetulkannya kamu akan mematahkannya. (Hadis riwayat al-Bukhari4889).
Hadis ini dikemukakan oleh Imam al-Bukhari di dalam kitab al-Nikah bab berlembut dengan wanita. Tujuan al-Bukhari mengemukakan hadis ini ialah untuk menyatakan sifat fitrah wanita bukannya hakikat kejadian mereka. Apakah tubuh atau jasad wanita akan mudah patah apabila dikasari oleh orang lain? Tentu sekali tidak.

عن أبي هريرة. قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إن المرأة كالضلع. إذا ذهبت تقيمها كسرتها.

Sesungguhnya perempuan itu seperti tulang rusuk. Jika kamu ingin memperbetulkannya kamu akan mematahkannya. (Hadis riwayat Muslim no: 1468.)
Hadis ini lebih jelas lagi menyatakan sifat perempuan itu seperti tulang rusuk bukan diciptakan daripada tulang rusuk. Penggunakan partikel kaf ك  ini  menyatakan persamaan antara perempuan dan tulang rusuk. Sementara yang kedua merupakan sudut persamaan antara kedua-duanya.
Begitu juga di dalam al-Adab al-Mufrad, Imam al-Bukhari mengemukakan riwayat:

إن المرأة ضلع , وإنك إن تريد أن تقيمها تكسرها

Sesungguhnya perempuan itu tulang rusuk. Jika kamu mahu untuk meluruskannya maka kamu akan mematahkannya. (al-Adab al-Mufrad, no: 747)
Apakah hadis ini menyatakan hakikat perempuan itu sebenarnya tulang rusuk? Jawaban yang pasti tentu tidak. Hadis ini merupakah satu bentuk tasybih atau perumpamaan yang mempunyai nilai balaghah atau retorik yang tinggi di mana perkataan yang menyatakan persamaan tidak digunakan begitu juga sudut keserupaan tidak disertakan. Atau boleh juga dikatakan sebagai bukti bahawa perkataan tulang rusuk tidak difahami secara harfiah.
Begitulah hemat kami dalam memehami ayat al quran dan al hadis dalam hal menerangkan tentang di ciptakanya perempuan yang selama ini banyak di salah pahami oleh sebagian orang. Percaya atau tidak terserah pembaca.
Dan akhir kata kami seperti biasanya wallahu a’lam.